Sunday 8 August 2010

Siwa (2) Jabal Mauta

Perjalanan bebas hambatan dari Matrouh ke kota oasis Siwa cukup ditempuh empat jam saja dengan bis. Perjalanan ini melintasi gurun pasir tandus yang seakan tiada habisnya. Begitu menginjakkan kaki di Siwa, Anda sudah melintasi waktu ke masa lampau setidaknya dua ribu tujuh ratus tahun ke belakang.

Siapa yang akan membayangkan bahwa bukit di depan adalah sebuah pekuburan. Tidak terlihat bangunan maupun batu nisan. Dari kejauhan lubang-lubang kecil hitam itu ternyata adalah liang lahat. Berapa banyak pembesar dan orang agung yang telah dikuburkan di sana. Karena posisinya yang terletak di sudut awal perbatasan dengan propinsi di pesisir pantai. Pekuburan kuno ini adalah salah satu tujuan awal bagi pengunjung yang melancong ke Siwa.

Jabal Mauta, bukit kematian. Penduduk setempat juga menamakan pekuburan itu dengan Gebel al-Musabbarin, bermakna bukit orang yang dibalsem. Tidak ada yang istimewa dari bukit itu, karena hanya terselimuti debu dan pasir berwarna coklat. Satu keistimewaan bahwa jabal mauta adalah tempat tinggal terakhir para bangsawan di masa kejayaan Firaun.

Udara panas terus membakar kulit yang telah legam ini. Hembusan debu gurun menghempas tubuh ini. Jalan-jalan yang menanjak dan berpasir adalah jalur yang harus ditempuh untuk mencapai jabal mauta tersebut.

Setiap sisi bukit tidak disisakan ruang kosong. Semua sisi dimanfaatkan sebagai pekuburan. Seakan bukit ini adalah rumah susun yang saling bersusun saling bertingkat. Dari kaki bukit hingga puncaknya lubang-lubang berjajar rapi. Bukit ini berbentuk kerucut dengan bebatuan kapur yang begitu tandus. Tebing yang curam membuat pengunjung harus melangkahkan kaki dengan hati-hati. Khawatir terpeleset masuk ke dalam jurang. Bukit ini sungguh berlubang dengan lorong-lorong buatan di dalamnya.

Masing-masing kuburan berbentuk kotak seukuran beberapa meter saja. Seluruhnya terletak di sisi depan bukit menjulang keluar. Jabal mauta telah berada semenjak zaman Firaun dinasti yang ke -26 hingga zaman Yunani (Ptolemaic) dan masa kekaisaran Romawi.

Dari sekian ribu mumi yang dikuburkan terdapat empat nama pekuburan yang terkenal. Pertama; Kuburan Buaya. Keistimewaan makam ini adalah gambar buaya berwarna kuning. Diperkirakan dibangun pada masa akhir dinasti Ptolemeus atau awal Periode kekaisaran Romawi. Sayang sekali, penghuni makam ini tidak dibalsem, atau bisa jadi telah dimumikan tapi ada yang mencuri muminya. Setelah makam dibersihkan dari puing-puing yang berserakan. Gambar yang terdapat di dalamnya adalah gambar buaya. Maka penduduk lokal Siwa menamakan makam ini dengan kuburan buaya.

Kedua; Kuburan Mesu-Isis. Ciri yang menonjol dari makam ini adalah terdapat tengkorak mumi yang masih utuh. Ajaibnya penghuni makam ini tidak menggunakan nama dirinya melainkan memakai nama isterinya. Mungkin ini adalah bentuk rasa kasih sayang penghuni makam bagi isterinya agar nama isterinya dapat terkenang sepanjang masa. Makam ini terdiri dari tiga ruang. Diperkirakan mumi yang diawetkan dalam makam ini hidup pada abad ketiga SM. Bisa dikatakan sezaman dengan makam Si-Amun.

Ketiga; Kuburan Niperpathot. Niperpathot boleh saja diartikan dengan; Pemilik Rumah Thot. Sebuah makam dengan ukuran terbesar serta berusia tertua di oasis Siwa ini. Menurut sumber yang tertulis dari makam ini, yang dimumikan adalah seorang pria yang bertugas sebagai ‘nabi’, utusan, Dewa Osiris. Sekaligus dia menjadi juru tulis wahyu dari Dewa Osiris. Di dalam dinding makam yang seukuran kira-kira dua meter terdapat tulisan dan gambar berwarna merah. Bertuliskan huruf hieroglyph dan bergambarkan tiga sosok orang yang berbusana pakaian khas Firaun. Kain yang terlilit dari pusar hingga mata kaki dengan perhiasan yang menutup dada disertai mahkota kecil di kepala. Sebagai Sang Utusan Dewa maka makam ini teristimewakan dengan prasasti dan gambar.

Keempat; Kuburan Si-Amun. Makam ini berjarak sangat dekat dengan makam Mesu-Isis. Kelebihan makam ini adalah keindahan relief yang berwarna-warni. Dinding makam ini adalah paling menarik dan terindah dari seluruh lukisan dan gambar yang ada di jabal mauta bahkan boleh saya katakan teresotik di Siwa. Makam ini telah dihuni sekitar abad ke-3 SM. Dilihat dari gambar yang terdapat di dinding makam. Pemilik makam ini, Si-Amun jelas adalah seorang berpengaruh, setidaknya dia mempunyai harta kekayaan yang mencukupi untuk membangun sebuah makam yang esotik bagi dirinya. Si-Amun digambarkan sesuai dengan apa yang terlihat di sisi dinding makamnya. Dia seorang yang berewok, berambut keriting tebal berwarna hitam, dan berkulit putih. Isterinya bernama Re’t, berkulitkan warna coklat kemerahan. Sepertinya wanita ini penduduk asli Siwa. Sebagaimana saat ini penduduk Siwa adalah berkulit coklat kemerahan bahkan kehitaman.

Siapa yang membayangkan bahwa mumi di jabal mauta ini berbeda dengan mumi di wilayah lain Mesir. Mumi Firaun yang selalu anda lihat dibuatkan peti mati berukiran seni bercitra rasa tinggi berbalutkan emas di setiap sudut ukiran peti. Bukan itu, Mumi di jabal mauta ini hanya berbalut kain kafan yang dikuburkan di sebuah ruangan kotak. Mumi itu diletakkan begitu saja di atas tanah ruangan itu. Tanpa peti yang menyelimutinya. Selimutnya adalah angin, pasir, dan debu yang mengawetkan jasad.

Proses pemumian sederhana ini menjadi saksi kecerdasan masyarakat Siwa pada zaman itu.

Pada saat Perang Dunia II tentara Italia menginvasi Siwa. Penduduk siwa berbondong-bondong bersembunyi di dalam lorong-terowongan pekuburan jabal mauta. Di sana mereka tinggal bersama dengan mayat dan mumi. Akibat invasi ini, banyak ruang di dalam pekuburan yang rusak. Sisa-sisa asap dan bakaran menempel pada dinding makam.

Bagi saya, jabal mauta bukan sekedar bukit berkerucut dengan pasir bebatuan kerikil. Namun jabal mauta adalah proses kecerdasan yang bertaburkan seni pahat dan seni lukis. Peradaban ribuan tahun yang dibangun oleh bangsawan kaya yang berlarutkan dengan keindahan para seniman Mesir pada waktu itu. Perpaduan antara kecerdasan akal dengan cita rasa seni inilah yang telah menjadikan jabal mauta bernilai sejarah yang memancarkan kehangatan mentari pagi.

Thursday 5 August 2010

Al-Quran & Traveling

Traveling telah menjadi tema pembahasan di dalam al-Quran. Di dalamnya menceritakan kisah-kisah para traveler masa lampau. Di dalamnya pula menyemangati para traveler yang hidup setelah al-Quran diturunkan. Maka tak heran di zaman kerajaan Islam banyak melahirkan para traveler.

"Katakanlah: ‘berjalanlah di muka bumi!’” (Al-An’am : 11, An-Nahl : 36, An-Naml 69, Al-Ankabut : 20, Ar-Rum : 42)

“Berjalanlah” adalah kata perintah. Bermakna penekanan agar berjalan di muka bumi. Agar melakukan traveling. Mengembara ke setiap jengkal tanah. Menjelajah setiap perbatasan kota. Berpetualang mencari daerah baru yang belum pernah dikunjungi. Karena bumi ini begitu luas untuk dijelajahi. Bumi ini begitu indah untuk dirasakan sedap dan harumnya kehidupan ini.

Di dalam ayat lain ALLAH berfirman: “Katakanlah: ‘perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.’” (Yunus: 101)

Traveling bukan sekedar perjalanan tanpa makna. Tapi setiap yang dilihat dan didengar harus menghasilkan ilmu. Maka perhatikanlah bagaimana budaya dan bahasa di setiap daerah yang dikunjungi. Perhatikanlah kebiasaan dan keesotikan suku dan bangsa yang berbeda. Perhatikanlah keistimewaan adat-istiadat mereka. Berkenalanlah. Cicipilah masakan mereka. Bergaullah dengan penduduk setempat.

Tidakkah mereka bepergian di atas muka bumi.” (Yusuf: 109)

Air yang tidak mengalir maka akan berwarna keruh dan berbau tak sedap. Namun air yang mengalir ia akan segar dan berwarna jernih. Begitu juga manusia yang tidak melakukan traveling jiwa dan pikirannya keruh, sempit, tertutup, dan sulit menerima perbedaan terhadap budaya lain. Tapi seseorang yang hobi traveling, jiwa mereka luas seluas ia memandang alam ini. Pikiran mereka terbuka seperti jendela terbuka selalu mendapat hawa baru, terjadi fentilasi. Menjadikan ruangan segar.

Hingga tatkala dia telah sampai ke tempat terbenam matahari.” (Al-Kahfi: 86)

Ya, ini kisah Dzulqornain, hamba tuhan yang soleh. Yang memiliki kekuasaan dari barat hingga ke timur. Dia melakukan ekspedisi di sejumlah wilayah kerajaannya. Baik di barat maupun di timur. Berbagai suku serta berbagai bangsa bahkan berbagai bahasa dia jumpai selama ekspedisi menjelajahi bumi nan luas ini. Di suatu daerah dia menemukan sekolompok kaum yang tidak memiliki atap rumah. Atap rumah mereka adalah langit. Di daerah lain dia bertemu dengan satu kaum berbeda dialeg dan bahasa.

Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60)

Nabi Musa bertekad akan melakukan traveling untuk mencari seorang guru yang berilmu dan berhikmah. Dia mencarinya hingga bertemu sebuah laut yang berasa asin dan sisi lain berasa tawar. Konon pertemuan dua laut itu berada di Dimyat (Mesir). Jika tak kunjung berjumpa, Musa akan melakukan traveling selama bertahun-tahun. Sebuah tekad yang mengajarkan pada pembaca bahwa traveling telah menjadi sebuah keharusan pada zaman itu untuk memperbaharui jiwa dan untuk berbagi kisah.

Maka tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda ber-traveling.

Semangat al-Quran agar memotivasi para pembacanya untuk ber-traveling telah diaplikasikan oleh para sarjana Muslim.

Imam Bukhori melakukan traveling di sepanjang wilayah negeri Islam. Meninggalkan tanah kelahiran di Bukhara (Uzbekistan sekarang). Melepaskan kerinduan tanah air. Mengembara ke setiap jengkal tanah untuk mencari sebuah hadits. Berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota lain. Melakukan traveling dengan modal dengkul. Dengan modal tekad membaja di dalam dada. Tidur beralaskan tanah. Berteduh di bawah pohon. Bernaung beratapkan langit. Menahan lapar. Merasakan dahaga di tengah padang pasir. Sedih dan duka tak menghalangi traveling ini hingga batas tanah yang tak terkira. Buah dari traveling ini dia dapat membukukan sebuah kitab hadist yang berjudul Shohih Bukhori. Sebuah kitab terautentik setelah al-Quran.

Traveler lain, Imam as-Suyuthi. Semasa mudanya melakukan traveling ke berbagai negara. Sebelumnya dia telah menjelajahi setiap jengkal tanah Mesir, negara kelahirannya. Selepas itu dia melakukan traveling kembali menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah Haji. Dia telah mengunjungi Yaman, Syria, Palestina, bahkan India, serta beberapa negara Afrika. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidur dimana saja jika hari telah gelap gulita. Memakan apa saja yang halal untuk bertahan hidup. Selesai bertraveling dia mengurung diri. Merenungi dan mencatat kembali sesuatu yang didapat dari traveling itu. Maka dia menghasilkan tulisan sebanyak seribu judul buku dari yang berupa selembar kertas hingga berjilid-jilid tebalnya.

Apakah hati as-Suyuthi tidak merasa berat meninggalkan zona nyaman?

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.” (At-Taubah : 41)

Perasaan berat maupun tidak nyaman bukan penghalang untuk mencari karunia ALLAH swt di bumi ini. Karena meninggalkan zona kenyamanan adalah ciri pribadi sukses.

Kisah lain, Salman al-Farisi, keturunan bangsawan Persia. Meninggalkan zona kenyamanan mencari seseorang yang hidup di tengah gurun padang pasir. Tidak pernah mengenalnya, hanya bermodalkan sebuah nama dan ciri-ciri. Berkali-kali dia berpindah tangan kepemilikan sebagai budak. Berkali-kali pula dia berpindah tempat dan kota. Pada akhirnya, Jiwa traveling-nya membuahkan hasil, dia menemukan seseorang yang dia cari selama bertahun-tahun di kota Madinah. Dia begitu gembira. Ada tangis dari matanya, tangis senang dan tangis bahagia. Dia juga yang mengajukan ide agar membuat parit sebagai strategi pertahanan menjaga kota Madinah dari serangan pihak luar. Yang dikenal dengan perang Khondak.

Ibnu batutah, nama yang tak asing bagi pengembara Muslim. Di saat zaman belUm ditemukan pesawat. Tidak ada kendaraan bermesin. Dia mengawali traveling ketika berusia 21 tahun. Karena tekad yang kuat untuk mengeksplorasi bumi ini. Dia telah menjelajahi ribuan desa maupun kota. Melewati empat puluhan negara. Hingga dia pun telah menginjakkan kakinya di Aceh, Sumatera (Indonesia sekarang). Kisah seluruh perjalanan Ibnu Batutah telah diabadikan oleh Ibnu Jauzi berdasarkan penuturan langsung dari sang traveler. Karya itu berjudul Tuhfah Al-Nuzzar fi Ghara’ib Al-Amsar wa Ajaib Al-Asfar. Pada abad kegelapan di Eropa karya ini menjadi bahan bacaan populer di sana.

Maka benar apa yang telah Imam Syafii katakan: “Ber-traveling-lah! Kamu akan mendapatkan kerabat dan teman baru.”

Wednesday 4 August 2010

Kehidupan Malam

Pada malam hari menelusuri kota Cairo bersama Jasmine. Melewati jalan raya yang memberikan kesan modern di tengah padang pasir afrika. Ditambah dengan gedung bertingkat yang gagah menjulang ke langit. Dengan fasilitas trotoar bagi pejalan kaki yang melintas di tepi jalan raya maupun di tepi sungai Nil.

Melewati Maidan Tahrir. Tempat ini memberi keluasaan para pemuda maupun pemudi duduk bercengkrama di sebuah taman di tengah kota Cairo. Mereka duduk berdua bersama kekasih memadu rayu dan kasih. Jalan berbentuk lingkaran merupakan sebuah solusi bagi kemacetan lalu lintas pada saat jam kerja.

Mobil-mobil berseliweran padat. Meski terdapat lampu lalu-lintas para sopir menganggap itu hanya sebuah hiasan saja tidak harus ditaati. Agar tertib polisi lalu-lintas turun ke jalan untuk menertibkan para pengguna kendaraan di jalan raya ini.

Jangan berharap ada fasilitas jembatan penyeberangan. Jembatan ini hanya merusakkan keindahan kota cairo. Para penata kota membuat alternative yang cerdas. Membangun lorong bawah tanah (nafaq/anfaq) untuk melintas dari sisi jalan raya ke sisi yang lain. Tentu tak heran di sepanjang jalan raya di sekitar Maidan Tahrir terdapat terowongan yang saling menghubungkan satu tempat ke tempat lain.

“Saya menjelajahi Sumatera, Jawa, Lombok, dan Bali.” Tempat yang pernah Jasmine singgahi saat berada di Indonesia. Dia tidak sempat mengelilingi seluruh wilayah Indonesia. “Tapi saya sudah mengelilingi Malaysia dan Thailand.”

“Orang Indonesia ramah dan baik.” Mengingat masa lalunya tentang negara tersebut.

Indonesia begitu luas hingga Jasmine sebagai backpacker tak cukup waktu untuk menjelajah seluruh wilayah Indonesia seluas membentang dari Perancis hingga Qatar.

“Menurutmu buku ini bagus.” Ujar Jasmine menyodorkan padaku sebuah buku percakapan bahasa Arab dengan terjemahan bahasa Inggris.

Penjual buku memandang gerak-gerikku dan Jasmine. Buku-buku menghampar luas di tepi trotoar. Kedai buku emperan mengambil sepetak hak pejalan kaki. Buku-buku yang dijual masalah agama, humor, politik, kamus, dan panduan memasak. Tidak banyak orang yang berlalu melirik kedai buku emperan ini. Sepanjang hari mereka telah penat dengan berbagai kerjaan di kantor.

“Kamu ingin makan malam.” Jasmine mengajakku tersenyum.

Kedai makanan menjual berbagai makanan khas Mesir. Aiman membayarkan makanan untuk Barbara dan Jasmine. Sedangkan Omar membayarkan makananku. Aiman dan Omar sebagai orang Mesir, tuan rumah, merasa gengsi jika orang asing yang membayar. Ini memang bentuk penghormatan orang Mesir kepada orang asing.

Omar yang baru saja aku kenal di markab. Telah menjadi akrab denganku. Inilah kelebihan orang Mesir begitu mudah mengakrabi dan membuat senang orang asing. Saya memesan tho’miyah bilbaidh dan Omar memesan adas. Kedai makanan ini mengharuskan bayar terlebih dahulu selepas itu menerima sajian makanan yang telah dipesan. Manajemen semacam ini merata di seluruh penjuru kota. Tho’miyah bilbaidh, roti tipis yang diisi dengan makanan terbuat dari kacang parang dihaluskan dibulatkan kemudian digoreng, dicampur telor rebus, sayuran, dan thohinah. Sedangkan adas, biji-bijian berwarna kuning yang direbus bersama susu hingga lembut.

Kedai memanjang kedalam. Tidak ada kursi tapi disediakan meja kecil di tengah dan di setiap sisi tembok kedai. Kami semua pengunjung kedai makan dengan berdiri.

Cafe telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Mesir di perkotaan. Beberapa café pun telah memasuki sudut pedesaan.

Aiman tidak asing dengan kehidupan cafe ini. Penjaga café telah mengenalnya dengan baik, semacam dia telah sering mengunjungi café ini. Karena café penuh oleh pengunjung. Pelayan café menyediakan bagi kami meja dan kursi di luar area café. Saya dan Omar memesan es limun. Barbara dan jasmine meminta es yoghurt. Sedangkan Aiman memesan teh panas.

Duduk di café tentu saja tidak terlepas dengan shisha (rokok Arab). Mereka memesan shisha rasa strawberry. Aiman menawarkan. Saya dan omar menolak menghisap shisha.

Menghirup selang shisha, menahan, dan menghembuskannya melalui mulut. Wuuuh, asap putih tebal keluar dari mulut Aiman. Jasmine dan Barbara pun melakukan hal sama, tapi asap yang keluar tak sebanyak hisapan cowok Mesir ini.

Aiman bukan orang yang suka berbicara. Dia berbicara saat ditanya saja. Omar pandai berbahasa Jerman dan Inggris tentu juga bahasa Arab. Dia memiliki trik melatih percakapan bahasanya. Dia banyak bergaul dengan turis asing yang berkunjung ke Mesir. Hasilnya dia begitu pandai dan lancar berbahasa asing. Meski demikian dia termasuk jutaan orang yang menganggur di negari ini. Karena terbatasnya lapangan pekerjaan. Hal ini tidak membuatnya putus asa. Dia tetap riang menjalani hidup ini.

Muhammad, saudara sepupu Aiman, datang ikut bergabung. Berpostur tubuh gendut, berkulit hitam seperti sepupunya. Dia lebih suka terdiam tak berbicara banyak.

Berjam-jam duduk di café diisi dengan obrolan. Hari semakin larut malam. Manusia bertambah ramai berlalu lalang melewati tepi jalan tempat duduk ini.

Pindah ke café lain.

Café ini tertutup. Pelayan café menanyakan identitas Omar. Dia memperlihatkan KTP dan sebuah kartu tourist guide. Pelayan membolak-balik kedua kartu tersebut. Mempersilahkan masuk.

“Pesan berapa botol bir?” Tanya seorang pelayan sambil memegang tiga botol bir dan pembukanya.

Saya menolak dengan ramah sambil menggelengkan kepala. Semua pengunjung café ini di setiap mejanya tersedia botol bir. Bir di sini bermerek Stella. Saya tidak melihat ada merek lain selain merek Stella. Di sisi depan mejaku ada dua orang sedang bermain domino. Mata mereka memerah tanpa menyisakan putih. Berbotol-botol telah habis mereka minum. Entah sudah berapa lama mereka duduk di sana.

Di sisi kiri seorang tante Mesir berambut pirang. Dia meminum bir sedap sekali seakan meminum air putih. Dia terburu-buru hendak pergi. Uang berlembar-lembar bergambar sphinx keluar dari dompetnya diserahkan pada pelayan café.

Di sisi lain para pengunjung café tengah sibuk menonton pertandingan sepakbola. Suara sorak gemurai memekikkan ruangan pengap di dalam café.

Malam telah bergulita. Manusia di café ini menjadi gelap terbawa mabuk khayalan. Saya mulai mengalami kebosanan di tempat seperti ini. Saya pun izin pulang dengan beralasan sudah larut malam.

(bersambung)

Tuesday 3 August 2010

Felucca On the Nile

"Mesir adalah hadiah dari sungai Nil" (Herodotus, sejarahwan Yunani abad kelima)

Bagi masyarakat Mesir, sungai Nil adalah segalanya. Karena mereka minum air dari sungai ini. Mencuci dan memasak dengan air ini. Memakan ikan yang ada di dalamnya dan memanfaatkan sebagai alat irigasi dan transportasi.

Sungai Nil memberikan Mesir kehidupan. Memberikan tanah yang subur, pepohonan hijau, persawahan, buah-buahan, sayur mayur, serta sebagai sumber pembangkit listrik. Boleh dikatakan tidak ada sungai Nil maka tidak ada Mesir. Dahulu kala sungai ini adalah jalur yang menyambungkan antar kota serta wilayah di Mesir. Wilayah yang terletak di hulu terhubungkan dengan daerah hilir melalui jalur sungai. Alat transfortasi sungai adalah markab (perahu kayu atau felucca). Markab ini adalah perahu tradisional Mesir yang telah digunakan semenjak zaman Firaun.

Setelah membaca email dari Jasmine bahwa dia mengajak saya agar ikut bersamanya menaiki markab di sungai Nil Cairo. Saya mengiyakan ajakan dia karena ingin merasakan menaiki markab ini. Kami berjanji bertemu di depan gerbang Opera House Cairo pada sore hari.

Di sana dia telah menungguku bersama dengan seorang Mesir. Kulihat jasmine begitu ramah. Jasmine, berhidung mancung, berambut pirang, berasal dari Australia, mampu bercakap bahasa Indonesia. Namun sudah mulai lupa karena dia tidak sering menggunakan lagi. Mengenakan kaos merah dan celana panjang hitam. Ada tato serangga berwarna biru di leher sebelah kiri. Langkahnya meyakinkan, bertubuh langsing, dan berkulit kemerah-merahan.

Matahari mulai ranum dan langit berwarna orange keputih-putihan. Air sungai Nil memancarkan warna biru disertai hembusan angin yang sepoi-sepoi. Menambah sejuk dan penasaran naik markab, perahu tradisional mesir kuno.

Tali tambang dilepaskan dari jangkar markab menjauh dari tepi sungai dan layar pun terkembang. Perlahan namun pasti markab mengarungi air sungai. Nakhoda perahu memastikan markab berlayar sesuai harapan.

Wajah-wajah tersenyum dari penumpang markab terpancar menambah terang pelayaran ini. Ombak sungai kecil menjadikan goncangan markab tak terasa keras. Jumlah penumpang markab ini berjumlah enam orang; Saya, Aiman, Omar, Jasmine, Barbara, dan seorang nakhoda.

Aiman, pemuda dari Aswan. Dia yang membawa Jasmine untuk menaiki markab. Berkulit gelap, berambut gimbal, mengenakan kaos merah bertuliskan Lee, dan celana pendek putih. Perawakannya besar, berkacamata hitam, gaya mirip penyanyi Rap. Dia menawar dan bernegosiasi harga sekali berlayar markab.

Percikan air sungai nil menambah sejuk udara sore ini. Nakhoda mengendorkan tali tambnag agar layar terkembang ke depan, membuat markab melaju kehadapan gelombang air sungai Nil.

Di depan markab nampak Omar dan barbara berdiskusi tentang keesotikan sungai Nil beserta keunikan Mesir. Mereka Akrab, ramah, seakan orang yang telah lama tak berjumpa. Omar, pemuda lahir di Cairo, murah senyum, pendek, berkulit sawo matang, berambut keriting, mengenakan kaos celana jeans hitam.

Dan Barbara, berkulit putih, berwajah oval, berambut lurus dan hitam, memakai kaos kutang ditutupi dengan kain serban putih. Saya tidak banyak berbicara dengan Barbara. Mungkin dikarenakan belum saling kenal satu dengan lain. Wanita ini berasal dari Jerman yang mengganti kewarganegaraan menjadi Canada.

Bentuk markab saat ini tetap dipertahankan seperti pada zaman Firaun yang terbuat dari kayu. Markab dilengkapi bantal di sekitar lingkar sisi markab dan sebuah meja terletak di tengah-tengah. Markab berlayar dengan lambat. Gelombang air menggerakkan markab naik turun bergoyang-goyang lembut. Untuk membelokkan markab sang nakhoda menarik layar sesuai arah yang dituju. Jika ingin markab belok kanan nakhoda mengendorkan layar ke arah kanan. Maka angin meniup layar dan layar bergelembung ke kanan. Dan Markab berlayar mengikuti gelembung layar.

Bagai nenek moyangku seorang pelaut menerjang ombak melawan badai. Saya membayangkan melintasi lautan sepanjang Nusantara yang dikelilingi oleh air.

Berapa gaji sebulan menjadi nakhoda markab?
“Enam ratus geneih.” Ungkap nakhoda sambil menuliskan angka enam dan nol di pahaku.

Nakhoda ini bernama Ibrahim. Ia berasal dari Tanta. Berbadan besar dan kekar. Mengenakan galabiyah (pakaian jubah khas Mesir yang bercirikan longgar di lengan) berwarna biru gelap dan sorban di kepala. Kulit agak gelap karena sepanjang hari terbakar cahaya matahari. Dia memiliki fisik yang kuat. Meski telah berusia enam puluh enam tahun dia masih sanggup menakhodai markab ini.

Markab atau felucca ini adalah alat transportasi utama di Mesir selama berabad-abad lamanya. Pada zaman dahulu berguna sebagai Pengangkut tentara Mesir kuno. membawa surat-surat penting Mesir dari wilayah hulu ke hilir dan sebaliknya. Markab ini berlayar sepenuhnya bergantung kepada angin.

Markab memiliki sebuah layar lateen, layar putih berbentuk segitiga yang meninggi ke atas terikat pada tiang panjang yang ukurannya lebih panjang dari markab itu sendiri. Tiang dipasang di tengah. Posisi lantai kayu depan dan belakang markab lebih tinggi daripada posisi lantai di tengah. Luas deck markab sempit dan rendah. Kemudi menggunakan dayung yang terletak di belakang. Markab berlayar menggantungkan pada angin dan arus sungai.

“Saya bekerja semacam ini sudah lima puluh lima tahun.” Kata Ibrahim bangga dengan menampakkan senyum dari wajahnya.

“Semenjak usia sebelas tahun saya telah berlayar.”

Saya melihat markab berjumlah tujuh buah yang bersandar di tepi sungai. Semua markab ini adalah milik pribadi. Pemiliknya seorang bapak tua berasal dari Aswan. Berbadan kurus mengenakan galabiyah putih. Berkulit coklat kegelapan namun murah senyum.

Ibrahim hanya seorang pekerja yang bekerja dari jam delapan pagi hingga pukul dua malam. Menghabiskan waktunya di sungai Nil, berkawan angin dan air.

Markab berlayar mendekati jembatan. Berputar ke kanan. Berganti halauan ke kiri. Terus berputar di sisi jembatan.

Matahari mulai terbenam. Cahaya merah di atas langit. Suasana sunyi meski dari kejauhan mobil berlalu-lalang. Tapi warna biru air berubah menjadi sejuk dengan suara percikan membasahi dinding markab.

Markab menuju pelabuhan setelah membawa kami berlayar selama satu jam. Rasa puas merasuki hati. Senyum bahagia terlukis di wajah.

Aiman memberikan selembar uang kertas sebesar lima puluh geneih ke nakhoda.

Markab dan air sungai Nil seakan melambai melepas kepergian kami.

(bersambung)

Monday 12 July 2010

Pantai Mediterania

Pantai adalah perbatasan antara darat dengan laut, atau makna luasnya perbatasan antara daratan dengan air, baik itu air laut atau danau. Tapi makna pantai identik dengan laut. Saya sebelumnya tidak bisa membedakan mana pantai yang indah dengan pantai yang buruk. Orang yang tidak menyukai pantai bagi dia pantai itu sama saja, laut dan pasir. Semakin sering seseorang ke pantai dia akan tahu mana pantai indah dan mana yang tidak. Beberapa pantai yang saya kunjungi membuktikan bahwa setiap pantai memiliki kelebihan serta keunikan masing-masing.

Pantai Cleopatra terletak sejam perjalanan dari pusat kota Matrouh. Di gapura pintu masuk terpajang patung putih separuh badan berbentuk Cleopatra. Aura wajah patung ini berbentuk Eropa, padahal Cleopatra adalah etnik Qibti. Memasuki kompleks pantai melalui jalan setapak yang bersemen. Sebelah kiri adalah kamar mandi Cleopatra, sedangkan sebelah kanan adalah bukit berpasir. Tak ada yang menarik di bukit ini. Banyak sampah dan pecahan kaca dari botol minuman. Hanya beberapa orang saja yang berada di bukit ini. Di antara beberapa orang itu termasuk saya yang penasaran.

Sepanjang jalan setapak ini pasir-pasir pantai berwarna kuning. Di depan terdapat batu karang besar berwarna coklat. Antara saya dengan batu karang itu terbatasi oleh air. Melangkahkan kaki ke dalam air. Terasa sejuk. Air setinggi mata kaki. Semakin ke tengah air meninggi sebatas betis kaki. Batu karang yang saya injak licin akibat lumut. Berkali-kali hampir terjatuh. Jalan setapak demi setapak dengan ombak kecil menerpa kaki. Berhati-hati dan perlahan-lahan.

Ada celah selebar pintu rumah dan tingginya membelah batu karang ini. Seperti suasana goa di dalam karang ini. Sebelah kanan terlihat lobang dengan air menghantam kencang. Sebelah kiri pun sama lobang lebih besar dapat terlihat suasana yang di luar. Mendengakkan kepala ke atas tak ada atap tak ada pembatas. Hanya langit biru yang nampak. Air setinggi mata kaki menggenangi lantai dalam goa ini.

Karang ini adalah kamar mandi Cleopatra.

Saya daki batu karang ini. Tangan kanan memegang celah kecil tangan kiri merangkak ke atas mencari celah lain. Kaki menempah berat badan. Puncak batu karang tergapai. Biru, biru, dan biru. Suasana menjadi biru. Birunya air laut. Birunya langit. Angin berhembus kencang membuat sejuk tubuh ini. Ada rasa puas di atas puncak melihat suasana laut Mediterania. Saya hirup hembusan angin. Saya resapi bisikan ombak. Tak ada tempat seindah ini di dunia.

Ruangan semacam goa di dalam batu karang, dari atas terlihat berbentuk kotak. Nampak sekali jika ruangan dalam batu karang itu tidak terjadi dengan sendiri. Tapi ada orang yang memahatnya agar menjadi ruangan untuk tempat mandi.

Meski karang ini bernama kamar mandi Cleopatra. Di pantai ini dilarang mandi. karena Ombak bergelombang kuat menerpa pantai. Batu karang tajam di mana-mana. Serta pasir tercampur dengan kerikil kecil. Membahayakan bagi orang yang mandi di pantai ini.

Setengah jam perjalanan dari pantai Cleopatra.

Pantai Agibah terletak di antara dua tebing. Tidak menyangka jika lembah yang berada di tengah-tengah kedua tebing ini adalah pantai yang indah. Berpasir putih. Ombak tak besar. Angin bertiup sejuk nan sepoi.

Menuruni tangga demi tangga. Hati tak berhenti berdetak kagum melihat pantai Agibah nan eksotik. Laut berwarna biru, terkadang hijau, terkadang agak kemerahan. Di tepi pantai, bukit terjal berwarna coklat kekuningan membatasi antara laut dengan daratan. Lekungan tebing yang unik dicampur deburan air laut berombak membuat saya seakan berada di dunia lain. Dunia yang belum terlihat dan belum terasakan.

Orang tidak begitu banyak di pantai ini. Beberapa orang terlihat mandi di dalam air laut. Di pantai seluas tiga puluh meter ini dapat meluangkan waktu melihat keindahan matahari terbenam. Konon warna air laut di pantai ini dapat berubah-ubah warnanya.

Maka tak salah jika pantai ini dinamakan pantai Agibah, yang bermakna pantai keajaiban.

Beberapa menit dari pantai Agibah.

Orang setempat menamakan dengan pantai Ubaid, bermakna putih. Tepat sekali pemberian nama ubaid, karena pasir pantai ini benar-benar putih bersih. Warna laut pun biru dengan tiupan angin yang sejuk. Pantai ini termasuk pantai terpanjang dari pantai yang saya kunjungi. Dari ujung pantai hingga ujungnya berisi lautan manusia berjemur di tepi pantai. Anak kecil maupun yang dewasa bermain air. Berendam. Berenang. Ombak yang stabil dan hembusan udara laut menambah cantik pantai Ubaid ini.

Penjual musiman berkeliaran menawarkan barang dagangan. Ada yang menjual kacamata hitam, kembang gula, maupun kue. Saya bertanya harga segelas teh di pantai ini. segelas teh tiga geneih. Enam kali lebih mahal dari harga normal. Di pantai tak bisa dilepaskan dari payung pantai. Satu payung dengan tiga kursi seharga dua puluh geneih. Digunakan sekehendak hati tanpa batas waktu oleh penyewa.

Sejam dari pantai Ubaid.

Sepanjang jalan Corniche di pusat kota Matrouh terdapat berbagai nama pantai. Salah satunya adalah pantai Lido. Masuk pantai ini gratis. Sama dengan pantai-pantai di atas sebelumnya. Air laut berwarna biru bercampur hijau. Udara sejuk membuat jiwa tentram. Ini adalah pantai paling ramai yang saya kunjungi. Karena terletak di pusat kota dan mudah dicapai dengan berjalan kaki. Manusia berdesakan di tepi pantai. Manusia berjubel mandi di laut.

Semua keindahan pantai itu tidak ikut dirasakan oleh Ahmad. Karena dia harus berjuang mendapatkan secuil uang dari hasil jualan topi.

Berapa mengambil keuntungan dari setiap topi yang terjual.
"Tergantung," Menjawab disertai dengan senyuman, dia melanjutkan; "Jika topi terjual sepuluh geneih, aku mendapat satu geneih."

Ahmad berkulit coklat kehitaman. Berambut keriting. Berusia lima belas tahun. Di usia saat ini dia sedang duduk di kelas satu madrasah i'dadiyah (setingkat SMP di Indonesia). Matrouh bukan daerah kelahiran tapi dia datang dari propinsi Suhag, tujuh jam perjalanan dari Cairo.

Jika topi terjual lima belas geneih kamu dapat satu setengah geneih.
"Ya." Jawab Ahmad tersenyum.
Jika topi terjual dua puluh geneih kamu dapat dua geneih.
"Ya." menganggukkan kepala.
Jadi Ahmad mendapat bagi hasil sebesar sepuluh persen dari setiap barang yang terjual. Dia hanya menjualkan barang milik orang lain.

Laut Mediterania begitu indah. Langit biru menaungi musim panas. Angin berhembus sepoi-sepoi. Ombak berderu menggemparkan daratan. Pasir-pasir berbisik manja. Pantai ramai pada siang dan malam hari. Penjual jagung bakar mengipaskan kipas ke arah arang. Penjual syawarma membuat berliur setiap orang yang melihatnya. Anak kecil, remaja, orang dewasa, rombongan keluarga mencari kesejukan pantai. Karena angin pantai yang sejuk adalah anugerah musim panas.

Musim dingin yang akan datang. Pantai-pantai ini menjadi sepi sunyi tak ada kehidupan. Bagai kota tak berpenghuni.

(bersambung)

Sunday 11 July 2010

Suq Libiya

Rasa penasaran yang membuatku ingin tahu apa itu suq libiya (pasar Libya). Bermodalkan sebuah nama suq libiya dan tekad untuk mengetahui apa itu suq libiya kuberanikan diri untuk mencari pasar itu.

Rasa takut dan cemas menyelimuti hati. Akankah kutemukan pasar itu malam hari ini, pasar yang hanya pernah terdengar nama tanpa wujud. Kaki mulai melangkah pasti menembus gelap dan angin malam. Melewati jalanan tepi pantai, orang Mesir menyebutnya corniche, berasal dari bahasa Perancis yang mengacu pada tepi jalan utama yang sejajar dengan sungai atau tepi laut. Manusia memenuhi kafetaria sekedar minum ataupun menghisap shisha menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Pemuda-pemudi duduk di trotoar sepanjang jalan utama corniche. Bergurau, berbincang, makan jagung bakar, meminum teh hangat, atau sekedar menghirup serta merasakan sejuknya angin malam di tepi pantai.

Beberapa kali bertanya ke orang yang kutemui di jalan, dimana suq libiya. Jawaban belum memuaskan untuk mencapai suq libiya itu.
"Permisi, dimana suq libiya."
"Kamu lurus terus." Jawab seorang bapak berjenggot putih tipis dengan menunjuk sebuah Masjid dipertigaan jalan yang baru saja terlewati.

Bapak ini bernama Abdurrahman, penduduk asli Matrouh, berpakaian jubah putih, berwajah oval, berambut pendek, berpostur tubuh besar dengan perung buncit ke depan. Daerah yang berdekatan dengan negara lain. Tersimpan emosi dan rasa kebersamaan. Begitu juga Matrouh dan Libya memiliki adat, budaya, dan bahasa yang sama, bahkan garis keturunan mereka pun sama hingga ke Ali. Sebagaimana yang telah umum bahwa Arab dan Israel begitu kuat menjaga garis keturunan. Mereka dapat mengingat berpuluh-puluh garis keturunan ke atas hingga buyutnya buyut.

Rasa nasionalisme dan kebangsaan terkadang harus ditanggalkan karena memiliki adat dan budaya yang berbeda. Karena adat, budaya, dan bahasa yang sama lebih utama meski dipisahkan oleh garis teritorial suatu negara.

Mencintai Mesir atau Libya.
"Libya." Suara pasti nan yakin dari hati pak Abdurrahman sambil tersenyum dia menunjukkan jari ke arah negara Libya.

Jalan raya ini rapi beraspal hitam, mobil tak ramai berlalu lalang. Suasana gelap tapi banyak terdapat toko dan warung. Pembeli hanya satu dua. Banyak simpangan dan perempatan telah terlewati, tak kunjung menemukan suq libiya. Ada ragu tentang info yang kudapat dari bapak itu. Hati mengalami kegelisahan akankah melanjutkan pencarian ini. Karena malam semakin gulita, suasana semakin sepi.

"Setelah itu, di persimpangan jalan akan menemukan pom bensin." Ucapannya kembali terngiang di pikiran setelah melihat lima persimpangan. Kucari pom bensin sebagai sumber patokan. Iya, pom bensin ada di sebelah kiri jalan.
"Terus lurus beberapa meter adalah suq libiya." Lurus kemana, ini ada lima persimpangan.

Biarlah, lurus adalah lurus.

Dari kejauhan lampu-lampu bersinar putih terang. Manusia ramai penuh sesak di sana.

Suq libiya pasar rakyat tersekat dengan bentuk persegi. Seluas dua kali lapangan futsal. Ramai penuh sesak pembeli dan pengunjung. Toko menjual berbagai barang dagangan; sepatu, pakaian, tas, mainan anak, minyak wangi, gantungan kunci, rempah-rempah, makanan, dan barang elektronik.

Sebuah toko menjual cinderamata khas Matrouh; kalung manik-manik, gelang batu, pasir warna-warni disusun menjadi gambar indah dan unik. Penjualnya semangat menawarkan gantungan kunci.
"Lima geneih." Untuk sebuah gantungan kunci berukiran nama sang pembeli dengan huruf latin dan hierogliph.
Diam dan tersenyum saja melihat penjual terus menawarkan barang dagangannya.
"Empat geneih." Dia menurunkan harga berharap agar membeli.

Suq libiya begitu sesak dipenuhi orang mesir. Rata-rata pengunjungnya kaum ibu-ibu dan remaja puteri. Berlawanan dengan penjualnya dari kalangan bapak-bapak dan remaja. Para penjual di pasar rakyat ini tidak agresif dalam menawarkan barang. Semua melayani dengan santai serta senyum tipis. Menjawab sekedarnya untuk pertanyaan seperti; harganya berapa.

Penjual minyak wangi menawarkan dengan tersenyum. Mengambil minyak wangi dan mengusapkan ke tanganku. "Kemarilah." Berulang-ulang memanggil berharap agar membeli.

Pakaian satu setel berupa kaos dan celana panjang training.
"Berapa harganya?" Kutanya ke seorang gadis cantik sedang duduk. Dia menggelengkan kepala dengan menunjuk ke seseorang lelaki berbadan gemuk.
"Tujuh puluh lima geneih." Di Mesir harga barang di pasar rakyat ini terkenal lebih murah dari pasar lainnya. Gadis itu bukan penjual, tersenyum melihat keluguanku.

Suq libiya, pasar Libya, tak terlihat orang Libya, tak ada barang dagangan berasal dari Libya.

Kenapa bernama suq libiya?
"Pertama kali dibuka barang-barang di pasar ini banyak didatangkan dari Libya." Ujar pak Abdurrahman menjawab pertanyaanku. Dia melanjutkan "Suq libiya pun ada di Alexandria."

Pakaian, tas, alat elektronik, dan mainan plastik adalah produk China yang menguasai pasar ini. Barang-barang China yang murah dengan harga miring merajai suq libiya, sebuah pasar rakyat. Pasar ini telah berubah 'nama' dari suq libiya (pasar Libya) menjadi suq shin (pasar China).

(bersambung)

Friday 9 July 2010

Siwa, Kota Diantara Gurun Sahara

Padang pasir, padang pasir, dan padang pasir teman hidup dan perjalanan penduduk di oase siwa.

Perjalanan dari Cairo menuju Siwa membutuhkan waktu sepuluh jam. Seluruh kendaraan yang hendak menuju Siwa selalu melewati Matruh. Dari Cairo ke Matruh ditempuh enam jam. Para pelancong sebelum melanjutkan perjalanan ke Siwa mengambil istirahat di Matruh. Istirahat sejenak untuk menikmati udara laut Mediterania. Dari sini melanjutkan ke Siwa ditempuh empat jam di perjalanan.

Dari Matruh ke Siwa sepanjang perjalanan adalah padang pasir berwarna kuning serta bukit berpasir dengan bebatuan menjulang tajam. Pepohonan di beberapa tempat dapat ditemukan berwarna hijau tertutup pasir. Tak ada rumah sepanjang menempuh perjalanan ini. Jika melihat beberapa bangunan itu bukanlah rumah tapi pos keamanan tentara yang menjaga dan berlatih di gurun sahara ini.

Udara panas mengantarku sampai di kota Siwa. Kota di tengah-tengah gurun pasir sahara. berpenduduk sekitar tiga puluh ribu jiwa.

Markaz (ibukota) Siwa berwarna coklat dari bangunan, jalanan, penduduk, semua berwarna coklat. Bangunan nampak kuno berbentuk kotak memanjang ke atas, rata-rata bangunan hanya dua tingkat. Penduduk sepi, tidak seperti kota di Mesir yang ramai pada umumnya. Terlihat beberapa orang yang berlalu lalang. Toko-toko kecil tak ada aktifitas pengunjung, tak ada transaksi penjualan. Hingga penjaga toko pun aku tak melihatnya, mungkin karena mereka bosan menunggu kesepian tanpa pembeli.

Di pusat markaz Siwa mengingatkan sebuah susunan kota di Jawa, biasa disebut dengan alun-alun. Ada taman, dengan Masjid dan pasar disekitarnya. Begitu juga Siwa terdapat taman berbentuk segiempat tumbuh rumput hijau dengan fasilitas tempat duduk dengan atap di atas untuk berteduh. Di sekitar taman, jalan raya beraspal mengitarinya, nampak satu masjid di tepi taman. pasar di sepanjang taman menjadi teman kesunyian alun-alun ini.

Hasil bumi penduduk siwa; kurma, zaitun, keranjang, dan mulukhiyah. Kurma berwarna hitam yang kering atau basah terasa manis. Zaitun, baik buah maupun minyak menjadi barang utama makanan khas dari Siwa. Kurma dan zaitun adalah produk unggulan kota Siwa sudah terkenal seantero negeri ini.

"Assalamualaikum"
"Waalaikumusalam." Jawab pak tua yang kutemui di jalan. Bibir tersenyum sejuk membuatnya lebih muda dari usianya.
"Dari mana?" Dia bertanya lembut.
"Indonesia." Jawabku.
"Itu apa, pak?" Tanyaku.
"Syali ghodi," Nampaknya dia terburu-buru "kamu bisa naik ke atas, melalui jalan samping itu." Dia memberi isyarat ke ujung jalan. "Tak usah bayar, langsung naik ke atas saja."

Syali ghodi bermakna kota tua. Syali adalah bahasa Barbar yang bermakna kota. Syali ghadi kota kuno tempat tinggal orang barbar pertama kali di Siwa. Mereka membangun rumah di atas bukit yang masih bertahan hingga sekarang.

Kujelajahi syali ghodi. Tembok terbuat dari tanah liat, dengan kamar seukuran semeter. kota mati ini membuatku merinding. Tak ada kesan kehidupan. Lalat pun segan terbang ke sana. Menjelajahi rumah kuno tak berpenghuni. Rumah dibangun dengan pondasi alami bukit karang yang menancap ke dalam dasar bumi. Rumah satu dengan rumah lainnya saling berdekatan hanya dibatasi satu tembok. Kudaki satu persatu anak tangga menuju puncak kota Syali ghadi. Rumah yang padat dengan lorong kecil untuk menghubungkan rumah yang terletak di atas. Jalan penghubung berkelok-kelok memutari bukit ini. Jalanan Syali ghodi ini telah berlobang kecil sebesar ibu jari. Kucoba menginjak lobang itu dengan kuat, tak runtuh. Kemampuan arsitektur suku Barbar di Siwa melebihi kecerdasan arsitektur bangunan pada zamannya. Dari puncak syali ghadi terlihat jabal mauta (kuburan di atas bukit), danau garam, oase siwa, kuil Amon, serta seluruh kota Siwa dapat terlihat dari puncak Shali ghodi.

Sekitar Syali ghodi rumah-rumah berwarna coklat berbentuk kotak dengan jendela kecil-mungil seukuran layar monitor komputer. Pintu pun kecil menyesuaikan dengan bentuk rumah yang sempit. Selain warna coklat seindah warna rumah orang Siwa adalah hijau yang menghiasi jendela dan pintu. dinding rumah penduduk Siwa terbuat dari tanah liat.

Kenapa ukuran jendela rumah orang Siwa kecil?
"Jendela kecil," Jawab Hasan tersenyum "karena saat musim dingin untuk mencegah udara dingin masuk ke dalam rumah, serta saat musim panas untuk mengurangi udara panas."

Hasan berusia 24 tahun. Berambut keriting, kulit coklat, penduduk asli Siwa, berwajah kotak, mengenakan jubah putih. pada saat dia berusia 21 tahun menyelesaikan studi di Universitas Alexandria. Menjadi guru sejarah di kota Siwa. Sekarang di liburan musim panas ini bekerja sebagai penjaga toko minyak zaitun.

itu tembok rumah dari tanah liat. aku penasaran tembok berwarna coklat tanpa hiasan cat.
"Iya." Sambil tersenyum yang menjadi ciri khas keramahan penduduk Siwa.
"Tanah liat," dia melanjutkan "saat musim panas membuat sejuk penghuni rumah. Begitu juga saat musim dingin membuat hangat di dalam rumah."
"Kamu tahu" dia menekankan.
"Di Siwa saat musim dingin, dingin sekali. Orang Swiss, yang hidup dengan salju saja tidak sanggup dinginnya udara Siwa."

Bahasa Siwa memiliki kosakata dan susunan berbeda dengan bahasa Arab Cairo. Bahasa mereka tercampur antara bahasa Arab dan Barbar. beberapa percakapan yang dapat terekam saat di Siwa.
Hente el-hal ennak? apa kabar.
Hente ismiyyet ennak? siapa namamu.
Nama Siwa pun bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Barbar, bermakna mangsa burung.

tidak banyak perempuan yang bertebaran di kota Siwa ini. Namun dalam beberapa kesempatan kumelihat pakaian wanita Siwa, berupa jubah besar nan longgar dengan cadar yang menutup wajah. jubah berwarna abu-abu di hiasi dengan kudung bermotif bulatan hitam putih semacam motif macan tutul.

Matahari semakin malu tuk menampakkan cahaya. Angin menambah segar udara ini. Senyum penduduk Siwa membuat tentram. Apalah waktu yang memisahkan kita. Namun kehangatan di sini selalu bersemayam dalam hati.

Di tempat ini ada dunia lain, kehidupan yang panas dan gersang serta warna kulit penduduknya yang legam. Namun kehidupan damai dan ramah. Panas dan sulitnya kehidupan tak menyurutkan jiwa untuk selalu berbagi yang terbaik di kota antara padang pasir sahara ini.

(bersambung)

Thursday 1 July 2010

KERETA API

Transportasi jarak jauh di Mesir termurah adalah kereta api. Membeli tiketnya mudah tanpa harus mengeluarkan paspor atau kartu pengenal lainnya. Sebenarnya naik bis juga sama tidak perlu menunjukkan paspor. Cara membeli tiket pun mudah, pergi ke loket dan pesan tujuan yang diinginkan. Tiket dari/tujuan tertulis dengan huruf Arab dan Latin.

Ramses, adalah stasiun kereta api utama di Cairo. Stasiun ini menghubungkan jarak jauh Cairo hingga Aswan di Shoid-Misr (Mesir Selatan). Serta menghubungkan Cairo ke Alexandria di Waghul-Bahri (Mesir Utara). Selisih harga tiket kereta api dengan angkutan umum lainnya 2:3, yakni jika harga tiket kereta api dua puluh geneih maka harga angkutan umum tiga puluh geneih.

Stasiun Ramses berada di pusat kota. Stasiun berbentuk kotak memanjang ini menyerupai stasiun Kota di Jakarta. Setiap sudut terdapat polisi berseragam dan polisi berpakaian preman.

Orang-orang berlalu lalang terlihat tergesa-gesa, ada yang duduk santai di bangku, ada yang duduk di emperan lantai, mayoritas penumpang adalah penduduk Mesir. Nampak terlihat beberapa turis asing di ruang tunggu stasiun.

Bagi yang suka keliling Mesir dengan murah cara alternatif adalah dengan menggunakan jasa kereta api.

sebagai seorang yang ingin menjelajahi Mesir dengan biaya murah kumemutuskan untuk naik kereta api ekonomi menuju Suhag.

Kereta api datang perlahan. saat kereta api berhenti, orang mesir segera berebut untuk menaiki kereta, dempet sana, sikat sini, dorong ke depan, dan geser ke belakang. Setiap mata memandang ke depan. Tujuan hanya satu dapat tempat duduk.

Aku tidak bisa seperti mereka, badan orang Mesir terlalu besar untuk ukuran Asia. Kucari cara agar mendapatkan kursi duduk. Ada orang Mesir muda. Kuminta untuk masuk ke dalam gerbong terlebih dahulu menyisakan satu kursi. Setelah menitipkan tasnya kepadaku. Dia langsung masuk ke dalam gerbong kereta api. Dengan semangat menembus kumpulan penumpang dengan satu tujuan sama ingin mendapat tempat duduk. Lama sekali dia di dalam gerbong kereta api. Dia telah menghilang tertelan di dalam gerbong bersama para penumpang.

Kereta api berjalan pelan. Tapi pemuda itu tak kunjung muncul. Hati mulai dag dig dug. Ingin langsung naik ke dalam gerbong.

"Jangan naik kereta api sebelum aku turun." Ucapannya masih terngiang di telinga.

Kereta api melaju semakin kencang.

Ada seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Ayo kita naik." Ujar pemuda Mesir itu disertai napas ngos-ngosan sambil memandang tajam. Tanpa banyak tanya, segera mengambil semua tas yang kubawa langsung meletakkan tas itu di pundaknya.

"Cepat naik!"

Kereta api segera menambah kecepatan. Aku segera meloncat ke dalam gerbong, seseorang di pintu gerbong kereta api memegang punggungku tepat saat aku mendarat di pintu gerbong. Kutarik napas. Teman Mesirku bergelantungan di belakang dengan tetesan keringat di sekujur wajah dan tubuh.

Kenapa naik kereta ekonomi ini?
"Harga tiket lebih murah." Ujar Hazem, pemuda mesir dari suhag.

Pemandangan indah terlihat dari dalam kereta, kanan kiri persawahan, sungai Nil, Serta aroma khas orang pedesaan mesir di dalam kereta ini. Persawahan yang dilalui mengingatkan pada jalur pantura kereta api Jakarta-Surabaya. Terlihat hijau dengan petani yang sedang membajak sawah menggunakan kerbau. Namun yang membedakan sepanjang perjalanan ini sungai Nil selalu menemani penumpang kereta api.

Kereta ekonomi sangat murah. Setiap menit ada saja yang menawarkan makanan. Seperti kacang rebus, minuman, kue, pengemis juga tak ingin kalah bersaing. Pengemis tidak agresif. Seorang pengemis berlalu setelah mendapat senyum manis.

setelah beberapa hari di Suhag aku kembali menuju Cairo. Karena pengalaman sebelumnya aku putuskan membeli tiket eksekutif. Kereta api eksekutif yang pernah kunaiki juga ngeselin. Kereta api eksekutif hanya dikasih waktu berhenti tiga menit untuk menaikkan penumpang ke dalam gerbong. Nomer gerbong ketujuh tertulis di tiket.

Gerbong ketujuh di depan atau di belakang.
"Di belakang." Jawab petugas stasiun meyakinkan.
"Akiid." Benarkah.
"Aiwa." iya.
Aku menenangkan diri duduk di kursi.

Orang nampak ramai naik dari stasiun Suhag ini. Dari kejauhan serangkaian gerbong datang. Lokomotif mendekat. Gerbong delapan, tujuh, enam, lima, hingga gerbong satu. Kulari ke depan mengejar gerbong ketujuh. Belum selesai para penumpang naik ke dalam gerbong, kereta api sudah melaju lagi. Aku dengan cepat menerobos barisan penumpang. tanpa pikir panjang meloncat ke dalam gerbong. Seorang kakek tua melotot memandangku, terus memandang marah. Dia terjedot dinding kereta api. Karena tersenggol tas ransel di pundakku.

Kereta api eksekutif lebih bersih dan teratur. Tidak ada penjual dan pengemis dalam gerbong kereta. Terlihat tentara berseragam hijau dengan senapan laras panjang hitam sedang berjaga di sudut gerbong. serta polisi berseragam preman bersenjata otomatis tersembunyi di balik baju. Mereka berlalu lalang ke depan-belakang gerbong untuk memastikan keamanan di dalam kereta api.

tut ... tut ... tut ... kereta api melaju semakin cepat.

Sunday 18 April 2010

DIINTEROGASI POLISI

Kejadian ini beberapa tahun lalu, pertama kali di Mesir aku dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi oleh polisi Mesir. Aku ditangkap oleh polisi Mesir ketika sedang mengunjungi Books Exhibition, gitu deh yang tertulis di papan iklan depan pintu masuk. Bahasa Mesir disebut ma’rodh al-kutub.

Cerita berawal dari perkenalanku dengan orang Mesir. Dia berpakaian sweater ketat, bercelana Jeans biru, berperawakan tinggi, meski tidak berbadan besar namun nampak gagah, wajahnya putih sedap dipandang, dan ganteng juga. Seperti kebanyakan anak muda Mesir lain, yang membedakan dia dengan anak muda sebayanya adalah jenggot yang melingkar dari cambang kanan ke dagu terus ke cambang kiri. Kalau dia tidak berjenggot mirip seperti Adam Jordan. Dia berbicara bahasa Fusha sedikit, aku tetap berusaha memahami apa yang dikatakannya meski bahasa pasaran (amiyah) yang digunakan. Karena bisa bahasa fusha alasan ini yang membuatku setuju jalan bersama menuju ma’rodh al-kutub.

Aku mengenal dia di Masjid Al-Azhar sebelum solat Dzuhur saat sedang menghapal Al-Quran. Tiba-tiba saja dia menghampiriku. Dia menanyakan berbagai hal tentang diriku, terutama asal mana, kenapa aku disini, dan bla bla bla. Setelah sejenak berbincang-bincang dengan dia, dia menawariku untuk pergi ke ma’rodh bersama. Dia mengatakan jauh-jauh dari Alexandria ke Cairo hanya untuk mengunjungi ma’rodh al-kutub. Aku yang masih baru di Mesir, dan belum tahu apa-apa diam saja sembari senyum. Aku jawab ajakan dia setelah berpikir lama dan selepas solat Zuhur berjamaah di Masjid Al-Azhar. Aku mengangguk tanda setuju. Kami menuju ma’rodh al-kutub melewati arah Tahrir terlebih dahulu. Dari Tahrir naik lagi eltramco -semacam Colt di Jawa Timur- yang menuju ke ma’rodh. Dia yang membayar ongkos semua dari naik bis hingga masuk ma’rodh, lumayan gratis. Meski aku sudah memaksa untuk membayar, dia tetap keukeuh tidak mau dibayarkan, itu sifat orang Mesir ama orang asing, gengsi jika harus orang asing yang membayar. Asyik sih !!! sebenarnya ada rute yang lebih cepat menuju ma’rodh hanya satu kali naik kendaraan umum, yaitu bis. Tapi dia tidak mau naik bis. Aku tanya ke dia: “Mengapa kita tidak naik bis aja, khan lebih cepat?” Dia menjawab kalau naik bis terjadi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan. Dalam hatiku, jawaban yang aneh, emang tidak bisa apa duduk dibelakang. Biasanya khan cewek Mesir tidak mau duduk dibelakang.

Kami melihat-lihat buku, buku berbahasa Arab, ternyata dia suka buku berbahasa Inggris. Tidak lama melihat-lihat buku, aku dan dia keluar dari Germany Hall.

Saat keluar pintu Hall aku dipanggil oleh seseorang yang memakai kacamata hitam. berpakaian rapi, ditangannya memegang radio handy talky. Tampangnya dengan kacamata hitam seperti Amr Diab penyanyi Mesir dalam klip berjudul; neoul eah. ‘Amr Diab’ itu meminta orang Mesir untuk menunjukkan bathoqoh syakhsiyah, semacam Kartu Tanda Penduduk. Aku diminta memperlihatkan paspor. Sial, paspor tidak aku bawa. Aku dan orang Mesir yang baru kukenal digiring ke pos polisi. Meski tidak diborgol tanganku, tapi hati ini deg-deg-an juga. Kami dibawa ke kantor polisi bagian atas. Seorang polisi bertanya kepada orang Mesir yang baru kukenal; nama, alamat, dan nomer telpon. Sedangkan aku diminta paspor oleh seorang polisi berpakaian hitam, rambut cepak, berkumis tebal, wajah garang, berkulit gelap, seperti Bahadur dalam film Ayat-Ayat Cinta. Karena aku tidak bawa paspor, aku ditanya nama lengkap, tempat tanggal lahir, kapan tiba pertama kali di Mesir, dan iqomah (visa). Karena gemetar tubuh ini semua pertanyaan aku jawab dengan cepat. Dia malah membentakku, “Jangan cepat-cepat.” Aku tak tahu visa berakhir sampai kapan, seingatku visa sudah habis, minta diperpanjang kembali. Karena jawabanku tentang visa tidak memuaskan. Aku disuruh masuk ke sebuah ruangan berukuran 2 X 2 meter didalamnya terdapat dua orang Mesir, satu berperawakan tinggi besar mengenakan jubah putih, satu lagi masih muda mengenakan celana jeans dan baju kemeja. Dimana orang Mesir yang bersamaku tadi, aku tidak menemukan dia di ruangan sempit ini. Mungkin dia dimasukkan ke ruangan lain. Aku cuek saja dengan mereka berdua sambil bermuka masam ku duduk di pojok ruangan. Dalam hati aku menggerutu, emang loe siape, sama-sama ngga’ kenal, jangan-jangan kalo gue nyapa malah dikira ada jaringan internasional, BETE banget deh.

Entah, timbul pikiran negatif tentang penjara bawah tanah Mesir. Mata ditutup kain hitam untuk menuju ke penjara itu, penghuni disetrum pakai listrik, penghuni tidak memakai pakaian sehelai pun, ruangan cukup buat badan saja, dan air yang menggenang hingga lutut, iiiiih serem, gue ngga’ mauuuu … (teriak dalam hati) hiks … hiks … hiks …

Atau aku bakalan dideportasi keluar dari Mesir, aku tidak bakal bisa masuk ke Mesir lagi. Aku kan masih mahasiswa baru di Mesir. Aku datang ke Mesir mau kuliah, bukan mau dideportasi. Fuih fuih.

Pikiran negatif tumplek semua di otak. Dari penjara bawah tanah, siksaan dalam penjara, ditendang, dibentak, dideportasi, plus ada stempel teroris di paspor. Ogaaaaaaaaah :((

Dalam keadaan tegang, tak terkontrol, sedih, takut seperti ini. Hanya ALLAH tempat mengadu, karena DIA adalah sebaik-baik penolong, Yang Maha Penolong. Aku Solat Hajat dua rokaat, setelah itu berdoa memohon kepada ALLAh agar aku tidak masuk penjara apalagi deportasi. Keajaiban, setelah Solat dan berdoa, Alhamdulillah seorang polisi tersenyum kepadaku dan berkata: “Kamu bebas.” Dia menasehatiku: “Kalau kemana-mana kamu harus bawa paspor atau karneh (kartu mahasiswa).” Aku menganggukan kepala tanpa senyum. Mungkin alasan aku dibebaskan karena aku masih bau kencur di Mesir. Tapi namaku sudah terdaftar di kepolisian Mesir. Biarlah, semua sudah terjadi, sekarang yang terpenting adalah berhati-hati.

Friday 9 April 2010

AL-AZHAR PARK, 1 DARI 60 TEMPAT TERINDAH DI DUNIA

Aku memasuki gerbang Al-Azhar Park seakan sebuah gerbang istana raja. Gerbang masuk berbentuk benteng dengan tiga pintu berinterior seperti pensil tajam keatas. Semakin masuk ke dalam disambut dengan air mancur yang keluar dari dalam tanah. Air mancur ini berjumlah 16 pancuran kecil, 8 pancuran sedang, dan 1 pancuran besar terletak ditengah. Anak-anak kecil bermain di sekitarnya dan menyipratkan air pancuran ke teman-temannya. Tak mau kalah remaja pun ikut bermain air mancur. Air mancur ini tidak ditempatkan di dalam kolam sebagaimana air mancur di sekitar Monas, Jakarta. Namun air mancur itu langsung keluar dari lantai. Pertama kali memandang air mancur ini hati berkata sungguh unik dan menarik. Maklum orang kampung yang pergi keliling dunia. Jarang melihat air mancur.
Memandang ke depan dari gerbang masuk utama. Alias gerbang masuk satu-satunya. Karena tidak ada pintu masuk lagi kecuali dari pintu tersebut. Akan terlihat bukit hijau yang dikelilingi oleh pepohonan maupun tumbuhan.
Aku melangkahkan kaki lebih jauh untuk melihat keindahan Al-Azhar Park ini. Kubelokkan kaki ke arah kiri. Wow, pemandangan yang indah, sebuah lantai berwarna cerah dikelilingi oleh pepohonan, dikanan kiri ada tempat duduk dan tiang-tiang lampu terbuat dari marmer. Aku pandang ke depan, semakin ke depan dapat kulihat, meskipun kecil, Masjid Muhammad Ali Pasha.
Udara sejuk, pemandangan hijau, pepohonan, bunga-bunga, dan rerumputan halus dapat dirasakan semua keindahan itu di dalam Al-Azhar Park ini.
Al-Azhar Park dibuka untuk umum tahun 2005. Al-Azhar Park terletak di sebelah Selatan Universitas Al-Azhar. Bagi orang Indonesia yang lama tinggal di negeri sungai Nil ini. Akan merindukan Indonesia setelah melihat pemandangan sekitar Al-azhar Park.
Al-Azhar Park secara keseluruhan menyerupai arsitektur taman Islam abad pertengahan. Taman yang dihiasi oleh pepohonan palm, bunga, rerumputan, air terjun, dan juga air mancur mengingatkan pada taman Alhambra. Lebih dari 325 tanaman berbeda jenis diambil dari tumbuhan Mesir asli. Taman ini Diapit antara Kota Tua Cairo, wilayah fatimiyah, dan the City of the Dead, atau dikenal dengan bahasa Mesir; kuburan.
Danau terlihat dari kejauhan, aku dekati danau tersebut. Meski bukan danau alami namun airnya jernih, setiap orang yang melalui danau itu melihat kegenitan ikan-ikan sedang berenang di dalam danau tanpa rasa malu. Tiba-tiba air mancur terciprat kecil dari tengah danau ke arah mukaku menambah sejuk suasana tubuh.
Pantas saja Al-Azhar Park ini disebut-sebut sebagai taman terbaik dan terindah di Mesir. Seperti biasa orang Mesir membanggakan taman ini sebagai taman terindah di dunia Arab. Mereka belum pernah melihat taman di Indonesia, makanya mereka selalu membanggakan taman itu. Kalau sudah melihat taman Indonesia, pasti mereka akan bilang tentang Indonesia : “dih el-gannah,” ini adalah surga.
Nampaknya, kebanggaan orang Mesir itu bukan isapan jempol, karena sebuah situs bernama Project for Public Spaces menempatkan Al-Azhar Park sebagai 60 tempat terbaik dunia yang harus disinggahi jika anda berkunjung ke Mesir.
Aku akui bahwa taman ini memang bersih dan terawat dengan baik, tidak seperti taman-taman yang aku jumpai di Cairo. Taman tidak terlihat sampah berserakan. Karena bersih, lalat pun tidak sembarangan bisa terbang di wilayah ini.
Bukan hanya itu, orang-orang terkenal pun pernah mengunjungi Al-Azhar Park. Ambil contoh: Farah Pahlavi, Pangeran Charles, serta Puteri Camilla. Tentu saja aku sendiri pernah mengunjungi Al-Azhar Park.
Al-Azhar Park memiliki dua restoran berbintang lima. Satu restoran menghadap menara Masjid Al-Azhar dan lainnya mengarah ke Benteng Solahuddin. Dengar-dengar harga satu porsi makanan sekitar 10 USD/menu utama. Kalau punya uang lebih, tak apa-apa mencobanya.
Mataku memandang sebuah tembok, menyerupai benteng. Tembok sepanjang 1,5 kilometer itu dibangun oleh solahuddin 800 tahun lalu melintasi Al-Azhar Park. Tembok ini terletak di lereng antara Al-Azhar Park dengan Kota Tua Cairo.
Sialnya, aku ingin berfoto dengan banyak gaya macam foto model, gagal sudah. Karena batu baterei kamera digital low batt. Timbul pikiran dari diriku, mungkin lain hari aku akan berkunjung lagi ke Al-Azhar Park ini.
“Di.” Kupanggil temanku yang bernama Maftudi.
“Kapan-kapan kita main ke sini lagi yah.” Ku tersenyum berharap.
Dia hanya tersenyum tanpa menjawab satu kata pun. Mungkin telah kelelahan karena sudah seharian aku dan dia berjalan-jalan ke kota Cairo-Giza, Giza-Cairo. Dengan rasa menyesal campur sedih karena belum banyak foto yang diambil dari tempat ini, kami putuskan untuk kembali ke rumah.
Matahari mulai redup, namun kehadiran anak-anak, remaja, orang dewasa, dan juga sekelompok keluarga Mesir memasuki Al-Azhar Park tak ikut redup. Wajah-wajah ceria dan senyum mengembang terpancar dari kebahagiaan hati mereka. Karena dapat menikmati kesejukan, keindahan, serta kenyamanan taman di tengah kota Cairo yang sumpek dan berdebu karena kendaraan bermotor. Bisa dikatakan Al-Azhar Park adalah jantung kota Cairo. Dia memberi udara segar di tengah padang pasir dan rumah-rumah tanpa pepohonan.
Tahukah Anda ?
Al-Azhar Park yang aku pijak saat ini, dahulu adalah tempat pembuangan sampah kota Cairo selama lima ratus tahun. Ternyata gundukan bukit yang aku lihat tadi itu adalah sampah orang-orang Cairo dari jaman kerajaan sampai jaman republik ini.

Wednesday 7 April 2010

11 KEBIASAAN ORANG MESIR

Bertahun tahun saya telah tinggal di negeri piramida ini, mesir. Penduduk setempat sering membanggakan negerinya sebagai negeri ummu ad-dunya (ibunya dunia), bahasa keangkuhannya adalah mesir sebagai pusat negeri yang melahirkan peradaban dunia. Namun itu semua adalah kejayaan masa lalu yang tertera di dalam tinta sejarah. Dilihat secara geografis, wilayah mesir memang strategis berbatasan dengan tiga benua.
Geografis mesir berbatasan dengan afrika di wilayah barat dan selatan, berbatasan dengan eropa di utara, dan asia di timur. Mesir sendiri pun terletak di benua afrika. Strategisnya wilayah ini, menggiurkan bangsa lain untuk menguasainya atau pun untuk menjadikan pusat pemerintahan. Ambil misal : kerajaaan firaun yang berpusat di mesir, maupun kerajaan yang dikuasai alexander the great berpusat di wilayah al-iskandariyah sekarang. Wilayah ini pun di masa Islam melahirkan ulama terkenal, biasa disebut dengan Ibnu Athoillah as-Sakandariy
Mesir adalah negera berpenduduk homogenous, campuran arab, afrika dan eropa. Keberagaman masyarakatnya memberikan sumbangsih sebagai negara arab yang terbuka, toleran terhadap perbedaan. Sikap yang toleran ini berpengaruh pada universitas tertua dimesir, bahkan di dunia. Universitas tersebut mengambil sikap moderat dalam perbedaan. Setiap keputusan diambil jalan tengah. Setiap mazhab dalam islam dipelajari oleh peserta didik universitas tersebut. Tidak kalah penting, universitas tersebut menjaga kitab turats (dalam istilah keindonesiaan, kitab kuning) terus dipelajari di universitas itu maupun di masjid.
Sekilas keadaan mesir yang selalu menjadi tanda tanya bagi orang yang belum pernah menyinggahi negara ini.
Saya akan menulis beberapa kebiasaan masyarakat mesir yang sering terlihat dalam pandangan mata ini.

1. Shisa, menghisap shisa sudah menjadi bagian dari masyarakat mesir di kota ataupun di desa. Di kota dapat dengan mudah ditemukan kedai untuk menghisap shisa. Tempat ini biasa disebut kafetaria. Nah, jika di desa mereka menggunakan alat apa yg mudah ditemukan oleh mereka, istilahnya menghemat asalkan dapat menghisap shisa. By the way shisa itu apa sih, dari tadi ngomongin shisa tapi belum ada gambarannya. Shisa tuh, alat untuk merokok, bentuknya semacam teko tapi agak ramping. Dibawahnya kaca berbentuk botol yang diisi air, di atasnya diberi arang menyala, untuk menghisapnya disediakan selang diantara air dan arang itu. Menghisapnya menggunakan perut, asap dari shisa ini lebih banyak dari asap rokok. Shisa pun memiliki rasa yag beraneka ragam. Ada rasa cappucino, melon, apel, kurma, koktail, mint, atau strawberry. Saya belum pernah menemukan rasa durian ataupun duku. Ga ada kale’. Penghisap shisa ini tidak terbatas pada masyarakat mesir, tapi juga didapati di masyarakat arab saudi n syria. Saya pertama kali melihat shisa, saya pikir hanya laki-laki yang menghisap shisa, tapi hal itu jauh dari prasangka. Perempuan mesir pun menghisap juga, baik yang disebut ABG maupun yg dipanggil madam (ibu-ibu).

2. Malam jum’at, disebabkan hari libur nasional mesir adalah hari jum’at. Maka malam jum’at menjadi waktu untuk bersenang-senang dan berkumpul bersama kawan-kawan. Malam jum’at bisa dikatakan adalah malam minggunya Indonesia. Berbeda jauh dengan Indonesia, yang menjadikan malam jum’at sebagai waktu untuk menambah pahala, waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah (terlepas itu bid’ah atau tidak). Meski yang dibaca surah yasin, namun hal ini sebagai bukti dalam hati kecintaan pada al-Quran.
Pemandangan itu jauh berbeda dengan malam jum’at di mesir. Anak muda mudi, sekelompok ayah, ibu dan anak pun terlihat berkumpul di jalan, tempat wisata, maupun hanya sekedar ngobrol. Di wilayah husein, tempat berkumpulnya segala bangsa, di saat malam jum’at ramai bagaikan Pekan Raya Jakarta. Jika tiba malam jum’at, jalan raya yang menuju husein macet disesaki mobil dan orang-orang yang berseliweran.

3. Tidur pagi, ini sebuah kebiasaan jelek yang tidak mengenal musim, musim panas atau musim dingin. Saya dapat info dari tulisan semisal, bahwa di arab saudi kebiasaan tidur pagi pun tak jauh berbeda dengan di mesir. Mungkin keadaan geografis mesir yang mengharuskan mereka membiaskan tidur pagi. Ada selentingan beberapa kawan, jika mesir di serang israel pada pagi hari, maka akan hancur lebur negara ini.

4. Parfum, setiap orang pasti menyukai parfum laki-laki atau perempuan. Namun di mesir, parfum lebih mencolok digunakan oleh kaum perempuan. Di kota penggunaan parfum ini lebih mencolok dibanding di desa. Suatu hari pada musim dingin, saya mencium wangi parfum dari seorang gadis. saya mencari-cari sumbernya ternyata gadis itu jauh berpuluh-puluh meter di sana. Itu hanya sebuah gambaran bahwa perempuan mesir, suka berlebihan dalam menggunakan parfum. Musim dingin penggunaan parfum meningkat disebabkan cuaca dingin membuat enggan mandi, sebagai alternatif diganti mandi parfum. Dii bulan ramadan pun penggunaaan parfum meningkat drastis.

5. Kekayaan, menilai kekayaan orang mesir berbeda-beda sesuai wilayah masing-masing. Secara umum masyarakat mesir menilai kekayaan itu adalah kekayaan materi. Di kota kekayaan di nilai dengan banyaknya flat yang dimiliki, dapat juga dengan ukuran di komplek mana dia tinggal, komplek elit atau komplek kumuh. Di desa kekayaan dinilai dengan banyaknya tanah yang dimiliki.

6. Teh, bangun tidur minum teh, pagi minum teh, selepas makan minum teh, nonton TV minum teh, berbincang-bincang minum teh, di kafetaria minum teh. Teh adalah bagian dari kehidupan orang mesir. Di kota maupun desa kesukaan mereka pada teh, seperti kesukaan orang jawa pada gula. Bisa dikatakan setiap hari masyarakat mesir tidak pernah terlepas dari teh. Merek teh yang disukai oleh mereka adalah teh al-Arusah, teh ini memberikan warna yang kental berbeda dengan merek teh lainnya.

7. Fuul, kacang parang. Kacang ini dimakan setiap pagi. Tentu saja kacang ini telah masak dibuat semacam bubur. Dimakan menggunakan minyak zaitun, disertai dengan roti (biasa disebut isy), keju dan to’miyah. Kebiasaan makan kacang pada pagi hari menurut beberapa orang mesir, hanya ditemukan di mesir saja.

8. Suka merantau, merantau adalah sebuah sikap untuk mencari yang terbaik. Kebiasaan merantau ini telah lama menjadi darah daging orang arab tak terkecuali orang mesir. Sebelum kedatangan islam, bangsa arab adalah bangsa nomaden, bangsa yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Masih ingat dalam sirah kenabian, nabi merantau (bahasa sirahnya disebut hijrah) dari makkah ke madinah. Hasil merantau ini, membawa kejayaan penyebaran islam selanjutnya.
Dikarenakan kegemaran masyarakat mesir merantau. Mereka dengan mudah akan ditemukan di semua negara timur tengah, seperti saudi arabia, oman, maupun kuwait. Di kuwait, masyarakat mesir menduduki tingkat tertinggi sebagai pendatang, begitu juga di Yunani dan Italia.

9. Tempel pipi, jika bertemu sesama mereka akan menempelkan pipi antara satu dengan lainnya. Ada juga yang menyium pipi. Hal itu telah menjadi kebiasaan mereka saat bertemu. Terlebih jika lama tak jumpa, mereka akan cium pipi serta berpeluk mesra. Perlu diingat tempel pipi dan saling peluk ini hanya untuk sesama jenis. Dan jangan coba-coba untuk menyium ataupun memeluk lawan jenis di muka umum. Coz bukan mahram. Biasanya jika berlawanan jenis sapaan mereka berjabat tangan saja. Tentu budaya ini berbeda dengan Indonesia, di saat bertemu satu sama lain terbatas berjabat tangan saja.

10. Basa basi, dalam bahasa mesirnya mujamalah. Pemandangan ini sudah umum ditemukan di setiap tempat di mesir. Terlebih lagi, jika orang tersebut baru dikenal. Basa basi ini dengan mengajak orang yang baru dikenal minum teh. “itfaddol, nasyrabuu esSya-i” minum teh, yuk. Ajakan ini bisa kita tanggapi, tapi saran seorang teman mesir, jika ajakan itu dari seorang yang baru dikenal sebaiknya ditolak saja. Dengan berucap : “Syukran”, terima kasih. Basa basi ini pun membuat bangsa mesir terlihat ramah terhadap orang asing.

11. Romadhon karim, bulan romadhon yang penuh berkah. Begitulah ucapan dan pamflet di sepanjang jalan kota cairo jika bulan romadhon tiba. Bulan ini adalah bulan rahmat, bulan hemat. Hemat waktu dan hemat finansial, karena kebanyakan mahasiswa tidak masak sendiri. Di sepanjang jalan cairo akan dengan mudah didapati tempat yang disebut maidah ar-Rahman, terjemahan bebasnya hidangan Yang Maha Pengasih. Setiap orang dipersilahkan untuk memakan hidangan berbuka puasa yang tersedia, tanpa ditarik sepersen pun. Menu yang disajikan bervariasi, tersedia nasi, roti, sayur kentang, daging, ayam, dan buah-buahan. Tak lupa juga ada kolak kurmanya. Di tempat dimana orang asing agak jarang, maka pelajar asing itu akan diutamakan serta dijamu bagaikan pangeran. Terasa senang jika bulan ramdhan telah tiba, senang suasananya, senang makanannya.

Sebelas kebiasaan orang mesir ini telah mencukupi pembahasan terkait kebiasaan orang mesir. Ada beberapa kebiasaan buruk orang mesir, seperti : penipu, pembohong, keras kepala, ingkar janji. Dan kebudayaan orang mesir yang telah mendarah daging sejak kecil, yaitu: kencing di tembok. Hampir di setiap tempat akan menemukan kejadian tersebut berulang-ulang, baik orang dewasa maupun anak kecil. WC umum memang tidak tersedia di kota kairo ini, mungkin itu salah satu penyebab mereka melakukan hal ini. Sifat dan kebudayaan kencing di tembok, tidak saya temukan pada orang mesir yang belajar agama dan terdidik.
Kebaikan orang mesir adalah membantu mahasiswa asing. Ambil contoh jam’iyah syar’iyah, membantu finansial mahasiswa Indonesia tidak kurang dari LE. 150.000 setiap bulan yang di keluarkan dari kas organisasi tersebut, Jumlah tersebut setara dengan Rp. 300 juta.

Terlepas dari kekurangan, mesir adalah Negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Pada akhirnya, semua bangsa Indonesia dapat menikmati kemerdekaan. :)

Tuesday 6 April 2010

PERTAMA DI AFRIKA ... masa' sih ... !!!

Lho ko’ bisnya muter ke kiri, bis yang kunaiki memutar halauan ke arah kiri. Bis umum nomer 65 kuning, bis berwarna putih ada loretan biru coklat ditengah. Jalan raya ini … bukannya aku sering lewati jika aku kembali dari tahrir. Aku bertanya kepada diriku sendiri.
Bis berjalan terus ke arah kota Kairo lama atau yang dikenal penduduk sekitar dengan Maser Al-Qodimah. Sebelah Kanan kiri yang aku lewati banyak toko dan kedai.

Nah, ada kuburan Kristen, jarang aku melihat kuburan Kristen di tengah kota Kairo. Tapi di sini aku melihatnya penuh keheranan. Kuburan itu terbuat dari batu yang disemen serta cat berwarna putih. lebih aneh lagi kuburan itu memiliki kubah diatas kuburan tersebut. Serupa dengan kubah makam para wali, yang membedakan adalah salib diatas kubah.
Tertulis di depan pintu masuk kuburan itu kuburan Katolik Koptik.
Aneh !!! ada tambahan kata Katolik yang digabung dengan Koptik. Selama ini yang aku tahu di Mesir hanya Koptik tanpa ada tambahan Katolik. Mungkinkah ini ada hubungan dengan Katolik Roma.

Setelah browsing sana sini ternyata Koptik terpecah menjadi dua sekte. Gereja Ortodoks Koptik dan Gereja Katolik Koptik.
Gereja Ortodoks Koptik, gereja pribumi masyarakat Kristen Mesir. Gereja ini lahir sejak awal sejarah Kekristenan, diawali dari kedatangan Markus, murid Petrus sekaligus penerjemahnya. Pusat ke-paus-an gereja berada di Alexandria.
Sedangkan Gereja Katolik Koptik, gereja otonom dalam persekutuan Gereja Katolik Roma. Pusat kepausan terletak di Vatikan.

Bis terus melaju dengan pelan, kulihat kanan kiri suasana kota tua yang kumuh dengan bangunan berwarna coklat akibat debu menempel pada setiap tembok.

“Itu Masjid Amr bin Ash.” Begitu tanyaku kepada kondektur bis.

“Iya.” Dia menjawab disertai anggukan kepala.

“Turun disinikah.” Dia melanjutkan kata-katanya.

Aku hanya mengisyaratkan jari telunjuk ke depan. Tidak tahu akan turun dimana karena ini adalah pertama kali aku pergi ke tempat ini menggunakan bis umum.

“Turun di terminal sekalian yah.” begitu kata kondektur menafsirkan isyarat tanganku.

Aku menggelengkan kepala seakan tahu terminal bis itu.

Terminal tampak sepi, tidak seperti terminal Depok atau Lebak Bulus. Meski semua adalah terminal bis dalam kota, di dalam terminal Amr Bin Ash ini hanya terlihat dua atau tiga bis yang ngetem.
Aku masih ragu apakah itu Masjid Amr Bin Ash atau bukan. Maklum, aku belum pernah menyempatkan diri berjalan ke Masjid tersebut. Kalau sekedar keinginan atau ide jalan-jalan ke sana sudah numpuk di kepala.
Adzan Zuhur terdengar dari arah Masjid di depanku. Masjid ini berwarna coklat seperti debu padang sahara. Di atasnya terlihat ukiran seakan adalah benteng kerajaan. Aku masuk ke dalam ternyata ada orang-orang sedang melaksanakan solat. Aku cari tempat wudhu dan berwudhu, aku titipkan sepatu bututku ke penjaga. Setelah berwudhu aku beri dia imbalan jasa 50 piastre (sekitar seribu) karena telah menjaga sepatuku. Hehehe :D

Aku solat berjamaah, setelah itu solat sunnah ba’diyah Zuhur.
Wow, benar-benar luas masjid ini. Sekelilingnya terdapat tiang yang menopang atap Masjid. Ada yang mengatakan bahwa tiang Masjid Amr Bin Ash ini adalah tiang-tiang kuil Firaun.
Aku berkeliling untuk melihat kehebatan Masjid yang pertama kali dibangun di Mesir bahkan pertama di Afrika. Sekilas memandang dalam Masjid ini mirip Masjid Al-Azhar, karpet merah yang terbentang di setiap lantai serta tiang-tiang yang menjulang. Dan ciri khas setiap masjid timur tengah tetap ada saja menyisakan courtyard -semacam halaman kosong- di tengah masjid. Masjid Istiqlal pun memiliki courtyard di dalam.

Ditengah-tengah courtyard ada semacam bangunan beratap kubah digunakan untuk berwudhu. Tempat wudhu ditengah courtyard ini tidak ditemui di Masjid Al-Azhar dan Masjid Istiqlal, ini lah yang membedakan.

Masjid ini dibangun oleh Amr Bin Ash pada tahun 21 H/642 M. Masjid ini pertama kali dibangun berukuran seluas 50 X 30 hasta, tanpa menara tanpa halaman di tengah masjid. Saat ini masjid telah mengalami perluasan menjadi 120,5 X 112,5 meter.
Sayangnya, bangunan asli Masjid Amr Bin Ash ini tidak tersisa sedikit pun kecuali namanya saja.

Imam Syafii pendiri Mazhab Syafii -mazhab ini dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia-, beliau pernah mengajarkan fiqih di dalam Masjid ini.

Suasana sepi, ada beberapa orang Mesir, turis asing melihat-lihat Masjid tersebut.
Ehm, kulihat ada wajah Asia sedang berbicara dengan dua orang Mesir berpakaian jubah putih.
“Izzayyak?” –apa kabar- Sapaku kepada dua orang Mesir yang tidak aku kenal.
Sambil cuek tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku terus berkeliling Masjid ini, karena aku hanya basa-basi saja. Memandang atap Masjid, mengamati mihrab, mimbar, tiang, lantai, semua apa saja yang bisa kulihat ditempat itu.

Mengelilingi sekitar luar Masjid tersebut.

Bangunan dengan dinding berwarna kuning terbungkus debu. Aku terus melangkahkan kaki ke depan. Aneh, tembok bagian depan tidak disemen, batu bata merah tetap terlihat seperti kebanyakan tembok rumah pedesaan di Indonesia. Aku melihat ke atas depan hanya ada satu kubah dan satu menara di Masjid ini. Baru kali ini aku mengetahui ada Masjid hanya satu menara di Mesir. Tidak seperti Masjid-Masjid kuno Mesir yang memiliki tiang menara lebih dari satu.