Monday 12 July 2010

Pantai Mediterania

Pantai adalah perbatasan antara darat dengan laut, atau makna luasnya perbatasan antara daratan dengan air, baik itu air laut atau danau. Tapi makna pantai identik dengan laut. Saya sebelumnya tidak bisa membedakan mana pantai yang indah dengan pantai yang buruk. Orang yang tidak menyukai pantai bagi dia pantai itu sama saja, laut dan pasir. Semakin sering seseorang ke pantai dia akan tahu mana pantai indah dan mana yang tidak. Beberapa pantai yang saya kunjungi membuktikan bahwa setiap pantai memiliki kelebihan serta keunikan masing-masing.

Pantai Cleopatra terletak sejam perjalanan dari pusat kota Matrouh. Di gapura pintu masuk terpajang patung putih separuh badan berbentuk Cleopatra. Aura wajah patung ini berbentuk Eropa, padahal Cleopatra adalah etnik Qibti. Memasuki kompleks pantai melalui jalan setapak yang bersemen. Sebelah kiri adalah kamar mandi Cleopatra, sedangkan sebelah kanan adalah bukit berpasir. Tak ada yang menarik di bukit ini. Banyak sampah dan pecahan kaca dari botol minuman. Hanya beberapa orang saja yang berada di bukit ini. Di antara beberapa orang itu termasuk saya yang penasaran.

Sepanjang jalan setapak ini pasir-pasir pantai berwarna kuning. Di depan terdapat batu karang besar berwarna coklat. Antara saya dengan batu karang itu terbatasi oleh air. Melangkahkan kaki ke dalam air. Terasa sejuk. Air setinggi mata kaki. Semakin ke tengah air meninggi sebatas betis kaki. Batu karang yang saya injak licin akibat lumut. Berkali-kali hampir terjatuh. Jalan setapak demi setapak dengan ombak kecil menerpa kaki. Berhati-hati dan perlahan-lahan.

Ada celah selebar pintu rumah dan tingginya membelah batu karang ini. Seperti suasana goa di dalam karang ini. Sebelah kanan terlihat lobang dengan air menghantam kencang. Sebelah kiri pun sama lobang lebih besar dapat terlihat suasana yang di luar. Mendengakkan kepala ke atas tak ada atap tak ada pembatas. Hanya langit biru yang nampak. Air setinggi mata kaki menggenangi lantai dalam goa ini.

Karang ini adalah kamar mandi Cleopatra.

Saya daki batu karang ini. Tangan kanan memegang celah kecil tangan kiri merangkak ke atas mencari celah lain. Kaki menempah berat badan. Puncak batu karang tergapai. Biru, biru, dan biru. Suasana menjadi biru. Birunya air laut. Birunya langit. Angin berhembus kencang membuat sejuk tubuh ini. Ada rasa puas di atas puncak melihat suasana laut Mediterania. Saya hirup hembusan angin. Saya resapi bisikan ombak. Tak ada tempat seindah ini di dunia.

Ruangan semacam goa di dalam batu karang, dari atas terlihat berbentuk kotak. Nampak sekali jika ruangan dalam batu karang itu tidak terjadi dengan sendiri. Tapi ada orang yang memahatnya agar menjadi ruangan untuk tempat mandi.

Meski karang ini bernama kamar mandi Cleopatra. Di pantai ini dilarang mandi. karena Ombak bergelombang kuat menerpa pantai. Batu karang tajam di mana-mana. Serta pasir tercampur dengan kerikil kecil. Membahayakan bagi orang yang mandi di pantai ini.

Setengah jam perjalanan dari pantai Cleopatra.

Pantai Agibah terletak di antara dua tebing. Tidak menyangka jika lembah yang berada di tengah-tengah kedua tebing ini adalah pantai yang indah. Berpasir putih. Ombak tak besar. Angin bertiup sejuk nan sepoi.

Menuruni tangga demi tangga. Hati tak berhenti berdetak kagum melihat pantai Agibah nan eksotik. Laut berwarna biru, terkadang hijau, terkadang agak kemerahan. Di tepi pantai, bukit terjal berwarna coklat kekuningan membatasi antara laut dengan daratan. Lekungan tebing yang unik dicampur deburan air laut berombak membuat saya seakan berada di dunia lain. Dunia yang belum terlihat dan belum terasakan.

Orang tidak begitu banyak di pantai ini. Beberapa orang terlihat mandi di dalam air laut. Di pantai seluas tiga puluh meter ini dapat meluangkan waktu melihat keindahan matahari terbenam. Konon warna air laut di pantai ini dapat berubah-ubah warnanya.

Maka tak salah jika pantai ini dinamakan pantai Agibah, yang bermakna pantai keajaiban.

Beberapa menit dari pantai Agibah.

Orang setempat menamakan dengan pantai Ubaid, bermakna putih. Tepat sekali pemberian nama ubaid, karena pasir pantai ini benar-benar putih bersih. Warna laut pun biru dengan tiupan angin yang sejuk. Pantai ini termasuk pantai terpanjang dari pantai yang saya kunjungi. Dari ujung pantai hingga ujungnya berisi lautan manusia berjemur di tepi pantai. Anak kecil maupun yang dewasa bermain air. Berendam. Berenang. Ombak yang stabil dan hembusan udara laut menambah cantik pantai Ubaid ini.

Penjual musiman berkeliaran menawarkan barang dagangan. Ada yang menjual kacamata hitam, kembang gula, maupun kue. Saya bertanya harga segelas teh di pantai ini. segelas teh tiga geneih. Enam kali lebih mahal dari harga normal. Di pantai tak bisa dilepaskan dari payung pantai. Satu payung dengan tiga kursi seharga dua puluh geneih. Digunakan sekehendak hati tanpa batas waktu oleh penyewa.

Sejam dari pantai Ubaid.

Sepanjang jalan Corniche di pusat kota Matrouh terdapat berbagai nama pantai. Salah satunya adalah pantai Lido. Masuk pantai ini gratis. Sama dengan pantai-pantai di atas sebelumnya. Air laut berwarna biru bercampur hijau. Udara sejuk membuat jiwa tentram. Ini adalah pantai paling ramai yang saya kunjungi. Karena terletak di pusat kota dan mudah dicapai dengan berjalan kaki. Manusia berdesakan di tepi pantai. Manusia berjubel mandi di laut.

Semua keindahan pantai itu tidak ikut dirasakan oleh Ahmad. Karena dia harus berjuang mendapatkan secuil uang dari hasil jualan topi.

Berapa mengambil keuntungan dari setiap topi yang terjual.
"Tergantung," Menjawab disertai dengan senyuman, dia melanjutkan; "Jika topi terjual sepuluh geneih, aku mendapat satu geneih."

Ahmad berkulit coklat kehitaman. Berambut keriting. Berusia lima belas tahun. Di usia saat ini dia sedang duduk di kelas satu madrasah i'dadiyah (setingkat SMP di Indonesia). Matrouh bukan daerah kelahiran tapi dia datang dari propinsi Suhag, tujuh jam perjalanan dari Cairo.

Jika topi terjual lima belas geneih kamu dapat satu setengah geneih.
"Ya." Jawab Ahmad tersenyum.
Jika topi terjual dua puluh geneih kamu dapat dua geneih.
"Ya." menganggukkan kepala.
Jadi Ahmad mendapat bagi hasil sebesar sepuluh persen dari setiap barang yang terjual. Dia hanya menjualkan barang milik orang lain.

Laut Mediterania begitu indah. Langit biru menaungi musim panas. Angin berhembus sepoi-sepoi. Ombak berderu menggemparkan daratan. Pasir-pasir berbisik manja. Pantai ramai pada siang dan malam hari. Penjual jagung bakar mengipaskan kipas ke arah arang. Penjual syawarma membuat berliur setiap orang yang melihatnya. Anak kecil, remaja, orang dewasa, rombongan keluarga mencari kesejukan pantai. Karena angin pantai yang sejuk adalah anugerah musim panas.

Musim dingin yang akan datang. Pantai-pantai ini menjadi sepi sunyi tak ada kehidupan. Bagai kota tak berpenghuni.

(bersambung)

Sunday 11 July 2010

Suq Libiya

Rasa penasaran yang membuatku ingin tahu apa itu suq libiya (pasar Libya). Bermodalkan sebuah nama suq libiya dan tekad untuk mengetahui apa itu suq libiya kuberanikan diri untuk mencari pasar itu.

Rasa takut dan cemas menyelimuti hati. Akankah kutemukan pasar itu malam hari ini, pasar yang hanya pernah terdengar nama tanpa wujud. Kaki mulai melangkah pasti menembus gelap dan angin malam. Melewati jalanan tepi pantai, orang Mesir menyebutnya corniche, berasal dari bahasa Perancis yang mengacu pada tepi jalan utama yang sejajar dengan sungai atau tepi laut. Manusia memenuhi kafetaria sekedar minum ataupun menghisap shisha menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Pemuda-pemudi duduk di trotoar sepanjang jalan utama corniche. Bergurau, berbincang, makan jagung bakar, meminum teh hangat, atau sekedar menghirup serta merasakan sejuknya angin malam di tepi pantai.

Beberapa kali bertanya ke orang yang kutemui di jalan, dimana suq libiya. Jawaban belum memuaskan untuk mencapai suq libiya itu.
"Permisi, dimana suq libiya."
"Kamu lurus terus." Jawab seorang bapak berjenggot putih tipis dengan menunjuk sebuah Masjid dipertigaan jalan yang baru saja terlewati.

Bapak ini bernama Abdurrahman, penduduk asli Matrouh, berpakaian jubah putih, berwajah oval, berambut pendek, berpostur tubuh besar dengan perung buncit ke depan. Daerah yang berdekatan dengan negara lain. Tersimpan emosi dan rasa kebersamaan. Begitu juga Matrouh dan Libya memiliki adat, budaya, dan bahasa yang sama, bahkan garis keturunan mereka pun sama hingga ke Ali. Sebagaimana yang telah umum bahwa Arab dan Israel begitu kuat menjaga garis keturunan. Mereka dapat mengingat berpuluh-puluh garis keturunan ke atas hingga buyutnya buyut.

Rasa nasionalisme dan kebangsaan terkadang harus ditanggalkan karena memiliki adat dan budaya yang berbeda. Karena adat, budaya, dan bahasa yang sama lebih utama meski dipisahkan oleh garis teritorial suatu negara.

Mencintai Mesir atau Libya.
"Libya." Suara pasti nan yakin dari hati pak Abdurrahman sambil tersenyum dia menunjukkan jari ke arah negara Libya.

Jalan raya ini rapi beraspal hitam, mobil tak ramai berlalu lalang. Suasana gelap tapi banyak terdapat toko dan warung. Pembeli hanya satu dua. Banyak simpangan dan perempatan telah terlewati, tak kunjung menemukan suq libiya. Ada ragu tentang info yang kudapat dari bapak itu. Hati mengalami kegelisahan akankah melanjutkan pencarian ini. Karena malam semakin gulita, suasana semakin sepi.

"Setelah itu, di persimpangan jalan akan menemukan pom bensin." Ucapannya kembali terngiang di pikiran setelah melihat lima persimpangan. Kucari pom bensin sebagai sumber patokan. Iya, pom bensin ada di sebelah kiri jalan.
"Terus lurus beberapa meter adalah suq libiya." Lurus kemana, ini ada lima persimpangan.

Biarlah, lurus adalah lurus.

Dari kejauhan lampu-lampu bersinar putih terang. Manusia ramai penuh sesak di sana.

Suq libiya pasar rakyat tersekat dengan bentuk persegi. Seluas dua kali lapangan futsal. Ramai penuh sesak pembeli dan pengunjung. Toko menjual berbagai barang dagangan; sepatu, pakaian, tas, mainan anak, minyak wangi, gantungan kunci, rempah-rempah, makanan, dan barang elektronik.

Sebuah toko menjual cinderamata khas Matrouh; kalung manik-manik, gelang batu, pasir warna-warni disusun menjadi gambar indah dan unik. Penjualnya semangat menawarkan gantungan kunci.
"Lima geneih." Untuk sebuah gantungan kunci berukiran nama sang pembeli dengan huruf latin dan hierogliph.
Diam dan tersenyum saja melihat penjual terus menawarkan barang dagangannya.
"Empat geneih." Dia menurunkan harga berharap agar membeli.

Suq libiya begitu sesak dipenuhi orang mesir. Rata-rata pengunjungnya kaum ibu-ibu dan remaja puteri. Berlawanan dengan penjualnya dari kalangan bapak-bapak dan remaja. Para penjual di pasar rakyat ini tidak agresif dalam menawarkan barang. Semua melayani dengan santai serta senyum tipis. Menjawab sekedarnya untuk pertanyaan seperti; harganya berapa.

Penjual minyak wangi menawarkan dengan tersenyum. Mengambil minyak wangi dan mengusapkan ke tanganku. "Kemarilah." Berulang-ulang memanggil berharap agar membeli.

Pakaian satu setel berupa kaos dan celana panjang training.
"Berapa harganya?" Kutanya ke seorang gadis cantik sedang duduk. Dia menggelengkan kepala dengan menunjuk ke seseorang lelaki berbadan gemuk.
"Tujuh puluh lima geneih." Di Mesir harga barang di pasar rakyat ini terkenal lebih murah dari pasar lainnya. Gadis itu bukan penjual, tersenyum melihat keluguanku.

Suq libiya, pasar Libya, tak terlihat orang Libya, tak ada barang dagangan berasal dari Libya.

Kenapa bernama suq libiya?
"Pertama kali dibuka barang-barang di pasar ini banyak didatangkan dari Libya." Ujar pak Abdurrahman menjawab pertanyaanku. Dia melanjutkan "Suq libiya pun ada di Alexandria."

Pakaian, tas, alat elektronik, dan mainan plastik adalah produk China yang menguasai pasar ini. Barang-barang China yang murah dengan harga miring merajai suq libiya, sebuah pasar rakyat. Pasar ini telah berubah 'nama' dari suq libiya (pasar Libya) menjadi suq shin (pasar China).

(bersambung)

Friday 9 July 2010

Siwa, Kota Diantara Gurun Sahara

Padang pasir, padang pasir, dan padang pasir teman hidup dan perjalanan penduduk di oase siwa.

Perjalanan dari Cairo menuju Siwa membutuhkan waktu sepuluh jam. Seluruh kendaraan yang hendak menuju Siwa selalu melewati Matruh. Dari Cairo ke Matruh ditempuh enam jam. Para pelancong sebelum melanjutkan perjalanan ke Siwa mengambil istirahat di Matruh. Istirahat sejenak untuk menikmati udara laut Mediterania. Dari sini melanjutkan ke Siwa ditempuh empat jam di perjalanan.

Dari Matruh ke Siwa sepanjang perjalanan adalah padang pasir berwarna kuning serta bukit berpasir dengan bebatuan menjulang tajam. Pepohonan di beberapa tempat dapat ditemukan berwarna hijau tertutup pasir. Tak ada rumah sepanjang menempuh perjalanan ini. Jika melihat beberapa bangunan itu bukanlah rumah tapi pos keamanan tentara yang menjaga dan berlatih di gurun sahara ini.

Udara panas mengantarku sampai di kota Siwa. Kota di tengah-tengah gurun pasir sahara. berpenduduk sekitar tiga puluh ribu jiwa.

Markaz (ibukota) Siwa berwarna coklat dari bangunan, jalanan, penduduk, semua berwarna coklat. Bangunan nampak kuno berbentuk kotak memanjang ke atas, rata-rata bangunan hanya dua tingkat. Penduduk sepi, tidak seperti kota di Mesir yang ramai pada umumnya. Terlihat beberapa orang yang berlalu lalang. Toko-toko kecil tak ada aktifitas pengunjung, tak ada transaksi penjualan. Hingga penjaga toko pun aku tak melihatnya, mungkin karena mereka bosan menunggu kesepian tanpa pembeli.

Di pusat markaz Siwa mengingatkan sebuah susunan kota di Jawa, biasa disebut dengan alun-alun. Ada taman, dengan Masjid dan pasar disekitarnya. Begitu juga Siwa terdapat taman berbentuk segiempat tumbuh rumput hijau dengan fasilitas tempat duduk dengan atap di atas untuk berteduh. Di sekitar taman, jalan raya beraspal mengitarinya, nampak satu masjid di tepi taman. pasar di sepanjang taman menjadi teman kesunyian alun-alun ini.

Hasil bumi penduduk siwa; kurma, zaitun, keranjang, dan mulukhiyah. Kurma berwarna hitam yang kering atau basah terasa manis. Zaitun, baik buah maupun minyak menjadi barang utama makanan khas dari Siwa. Kurma dan zaitun adalah produk unggulan kota Siwa sudah terkenal seantero negeri ini.

"Assalamualaikum"
"Waalaikumusalam." Jawab pak tua yang kutemui di jalan. Bibir tersenyum sejuk membuatnya lebih muda dari usianya.
"Dari mana?" Dia bertanya lembut.
"Indonesia." Jawabku.
"Itu apa, pak?" Tanyaku.
"Syali ghodi," Nampaknya dia terburu-buru "kamu bisa naik ke atas, melalui jalan samping itu." Dia memberi isyarat ke ujung jalan. "Tak usah bayar, langsung naik ke atas saja."

Syali ghodi bermakna kota tua. Syali adalah bahasa Barbar yang bermakna kota. Syali ghadi kota kuno tempat tinggal orang barbar pertama kali di Siwa. Mereka membangun rumah di atas bukit yang masih bertahan hingga sekarang.

Kujelajahi syali ghodi. Tembok terbuat dari tanah liat, dengan kamar seukuran semeter. kota mati ini membuatku merinding. Tak ada kesan kehidupan. Lalat pun segan terbang ke sana. Menjelajahi rumah kuno tak berpenghuni. Rumah dibangun dengan pondasi alami bukit karang yang menancap ke dalam dasar bumi. Rumah satu dengan rumah lainnya saling berdekatan hanya dibatasi satu tembok. Kudaki satu persatu anak tangga menuju puncak kota Syali ghadi. Rumah yang padat dengan lorong kecil untuk menghubungkan rumah yang terletak di atas. Jalan penghubung berkelok-kelok memutari bukit ini. Jalanan Syali ghodi ini telah berlobang kecil sebesar ibu jari. Kucoba menginjak lobang itu dengan kuat, tak runtuh. Kemampuan arsitektur suku Barbar di Siwa melebihi kecerdasan arsitektur bangunan pada zamannya. Dari puncak syali ghadi terlihat jabal mauta (kuburan di atas bukit), danau garam, oase siwa, kuil Amon, serta seluruh kota Siwa dapat terlihat dari puncak Shali ghodi.

Sekitar Syali ghodi rumah-rumah berwarna coklat berbentuk kotak dengan jendela kecil-mungil seukuran layar monitor komputer. Pintu pun kecil menyesuaikan dengan bentuk rumah yang sempit. Selain warna coklat seindah warna rumah orang Siwa adalah hijau yang menghiasi jendela dan pintu. dinding rumah penduduk Siwa terbuat dari tanah liat.

Kenapa ukuran jendela rumah orang Siwa kecil?
"Jendela kecil," Jawab Hasan tersenyum "karena saat musim dingin untuk mencegah udara dingin masuk ke dalam rumah, serta saat musim panas untuk mengurangi udara panas."

Hasan berusia 24 tahun. Berambut keriting, kulit coklat, penduduk asli Siwa, berwajah kotak, mengenakan jubah putih. pada saat dia berusia 21 tahun menyelesaikan studi di Universitas Alexandria. Menjadi guru sejarah di kota Siwa. Sekarang di liburan musim panas ini bekerja sebagai penjaga toko minyak zaitun.

itu tembok rumah dari tanah liat. aku penasaran tembok berwarna coklat tanpa hiasan cat.
"Iya." Sambil tersenyum yang menjadi ciri khas keramahan penduduk Siwa.
"Tanah liat," dia melanjutkan "saat musim panas membuat sejuk penghuni rumah. Begitu juga saat musim dingin membuat hangat di dalam rumah."
"Kamu tahu" dia menekankan.
"Di Siwa saat musim dingin, dingin sekali. Orang Swiss, yang hidup dengan salju saja tidak sanggup dinginnya udara Siwa."

Bahasa Siwa memiliki kosakata dan susunan berbeda dengan bahasa Arab Cairo. Bahasa mereka tercampur antara bahasa Arab dan Barbar. beberapa percakapan yang dapat terekam saat di Siwa.
Hente el-hal ennak? apa kabar.
Hente ismiyyet ennak? siapa namamu.
Nama Siwa pun bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Barbar, bermakna mangsa burung.

tidak banyak perempuan yang bertebaran di kota Siwa ini. Namun dalam beberapa kesempatan kumelihat pakaian wanita Siwa, berupa jubah besar nan longgar dengan cadar yang menutup wajah. jubah berwarna abu-abu di hiasi dengan kudung bermotif bulatan hitam putih semacam motif macan tutul.

Matahari semakin malu tuk menampakkan cahaya. Angin menambah segar udara ini. Senyum penduduk Siwa membuat tentram. Apalah waktu yang memisahkan kita. Namun kehangatan di sini selalu bersemayam dalam hati.

Di tempat ini ada dunia lain, kehidupan yang panas dan gersang serta warna kulit penduduknya yang legam. Namun kehidupan damai dan ramah. Panas dan sulitnya kehidupan tak menyurutkan jiwa untuk selalu berbagi yang terbaik di kota antara padang pasir sahara ini.

(bersambung)

Thursday 1 July 2010

KERETA API

Transportasi jarak jauh di Mesir termurah adalah kereta api. Membeli tiketnya mudah tanpa harus mengeluarkan paspor atau kartu pengenal lainnya. Sebenarnya naik bis juga sama tidak perlu menunjukkan paspor. Cara membeli tiket pun mudah, pergi ke loket dan pesan tujuan yang diinginkan. Tiket dari/tujuan tertulis dengan huruf Arab dan Latin.

Ramses, adalah stasiun kereta api utama di Cairo. Stasiun ini menghubungkan jarak jauh Cairo hingga Aswan di Shoid-Misr (Mesir Selatan). Serta menghubungkan Cairo ke Alexandria di Waghul-Bahri (Mesir Utara). Selisih harga tiket kereta api dengan angkutan umum lainnya 2:3, yakni jika harga tiket kereta api dua puluh geneih maka harga angkutan umum tiga puluh geneih.

Stasiun Ramses berada di pusat kota. Stasiun berbentuk kotak memanjang ini menyerupai stasiun Kota di Jakarta. Setiap sudut terdapat polisi berseragam dan polisi berpakaian preman.

Orang-orang berlalu lalang terlihat tergesa-gesa, ada yang duduk santai di bangku, ada yang duduk di emperan lantai, mayoritas penumpang adalah penduduk Mesir. Nampak terlihat beberapa turis asing di ruang tunggu stasiun.

Bagi yang suka keliling Mesir dengan murah cara alternatif adalah dengan menggunakan jasa kereta api.

sebagai seorang yang ingin menjelajahi Mesir dengan biaya murah kumemutuskan untuk naik kereta api ekonomi menuju Suhag.

Kereta api datang perlahan. saat kereta api berhenti, orang mesir segera berebut untuk menaiki kereta, dempet sana, sikat sini, dorong ke depan, dan geser ke belakang. Setiap mata memandang ke depan. Tujuan hanya satu dapat tempat duduk.

Aku tidak bisa seperti mereka, badan orang Mesir terlalu besar untuk ukuran Asia. Kucari cara agar mendapatkan kursi duduk. Ada orang Mesir muda. Kuminta untuk masuk ke dalam gerbong terlebih dahulu menyisakan satu kursi. Setelah menitipkan tasnya kepadaku. Dia langsung masuk ke dalam gerbong kereta api. Dengan semangat menembus kumpulan penumpang dengan satu tujuan sama ingin mendapat tempat duduk. Lama sekali dia di dalam gerbong kereta api. Dia telah menghilang tertelan di dalam gerbong bersama para penumpang.

Kereta api berjalan pelan. Tapi pemuda itu tak kunjung muncul. Hati mulai dag dig dug. Ingin langsung naik ke dalam gerbong.

"Jangan naik kereta api sebelum aku turun." Ucapannya masih terngiang di telinga.

Kereta api melaju semakin kencang.

Ada seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Ayo kita naik." Ujar pemuda Mesir itu disertai napas ngos-ngosan sambil memandang tajam. Tanpa banyak tanya, segera mengambil semua tas yang kubawa langsung meletakkan tas itu di pundaknya.

"Cepat naik!"

Kereta api segera menambah kecepatan. Aku segera meloncat ke dalam gerbong, seseorang di pintu gerbong kereta api memegang punggungku tepat saat aku mendarat di pintu gerbong. Kutarik napas. Teman Mesirku bergelantungan di belakang dengan tetesan keringat di sekujur wajah dan tubuh.

Kenapa naik kereta ekonomi ini?
"Harga tiket lebih murah." Ujar Hazem, pemuda mesir dari suhag.

Pemandangan indah terlihat dari dalam kereta, kanan kiri persawahan, sungai Nil, Serta aroma khas orang pedesaan mesir di dalam kereta ini. Persawahan yang dilalui mengingatkan pada jalur pantura kereta api Jakarta-Surabaya. Terlihat hijau dengan petani yang sedang membajak sawah menggunakan kerbau. Namun yang membedakan sepanjang perjalanan ini sungai Nil selalu menemani penumpang kereta api.

Kereta ekonomi sangat murah. Setiap menit ada saja yang menawarkan makanan. Seperti kacang rebus, minuman, kue, pengemis juga tak ingin kalah bersaing. Pengemis tidak agresif. Seorang pengemis berlalu setelah mendapat senyum manis.

setelah beberapa hari di Suhag aku kembali menuju Cairo. Karena pengalaman sebelumnya aku putuskan membeli tiket eksekutif. Kereta api eksekutif yang pernah kunaiki juga ngeselin. Kereta api eksekutif hanya dikasih waktu berhenti tiga menit untuk menaikkan penumpang ke dalam gerbong. Nomer gerbong ketujuh tertulis di tiket.

Gerbong ketujuh di depan atau di belakang.
"Di belakang." Jawab petugas stasiun meyakinkan.
"Akiid." Benarkah.
"Aiwa." iya.
Aku menenangkan diri duduk di kursi.

Orang nampak ramai naik dari stasiun Suhag ini. Dari kejauhan serangkaian gerbong datang. Lokomotif mendekat. Gerbong delapan, tujuh, enam, lima, hingga gerbong satu. Kulari ke depan mengejar gerbong ketujuh. Belum selesai para penumpang naik ke dalam gerbong, kereta api sudah melaju lagi. Aku dengan cepat menerobos barisan penumpang. tanpa pikir panjang meloncat ke dalam gerbong. Seorang kakek tua melotot memandangku, terus memandang marah. Dia terjedot dinding kereta api. Karena tersenggol tas ransel di pundakku.

Kereta api eksekutif lebih bersih dan teratur. Tidak ada penjual dan pengemis dalam gerbong kereta. Terlihat tentara berseragam hijau dengan senapan laras panjang hitam sedang berjaga di sudut gerbong. serta polisi berseragam preman bersenjata otomatis tersembunyi di balik baju. Mereka berlalu lalang ke depan-belakang gerbong untuk memastikan keamanan di dalam kereta api.

tut ... tut ... tut ... kereta api melaju semakin cepat.