Sunday 8 August 2010

Siwa (2) Jabal Mauta

Perjalanan bebas hambatan dari Matrouh ke kota oasis Siwa cukup ditempuh empat jam saja dengan bis. Perjalanan ini melintasi gurun pasir tandus yang seakan tiada habisnya. Begitu menginjakkan kaki di Siwa, Anda sudah melintasi waktu ke masa lampau setidaknya dua ribu tujuh ratus tahun ke belakang.

Siapa yang akan membayangkan bahwa bukit di depan adalah sebuah pekuburan. Tidak terlihat bangunan maupun batu nisan. Dari kejauhan lubang-lubang kecil hitam itu ternyata adalah liang lahat. Berapa banyak pembesar dan orang agung yang telah dikuburkan di sana. Karena posisinya yang terletak di sudut awal perbatasan dengan propinsi di pesisir pantai. Pekuburan kuno ini adalah salah satu tujuan awal bagi pengunjung yang melancong ke Siwa.

Jabal Mauta, bukit kematian. Penduduk setempat juga menamakan pekuburan itu dengan Gebel al-Musabbarin, bermakna bukit orang yang dibalsem. Tidak ada yang istimewa dari bukit itu, karena hanya terselimuti debu dan pasir berwarna coklat. Satu keistimewaan bahwa jabal mauta adalah tempat tinggal terakhir para bangsawan di masa kejayaan Firaun.

Udara panas terus membakar kulit yang telah legam ini. Hembusan debu gurun menghempas tubuh ini. Jalan-jalan yang menanjak dan berpasir adalah jalur yang harus ditempuh untuk mencapai jabal mauta tersebut.

Setiap sisi bukit tidak disisakan ruang kosong. Semua sisi dimanfaatkan sebagai pekuburan. Seakan bukit ini adalah rumah susun yang saling bersusun saling bertingkat. Dari kaki bukit hingga puncaknya lubang-lubang berjajar rapi. Bukit ini berbentuk kerucut dengan bebatuan kapur yang begitu tandus. Tebing yang curam membuat pengunjung harus melangkahkan kaki dengan hati-hati. Khawatir terpeleset masuk ke dalam jurang. Bukit ini sungguh berlubang dengan lorong-lorong buatan di dalamnya.

Masing-masing kuburan berbentuk kotak seukuran beberapa meter saja. Seluruhnya terletak di sisi depan bukit menjulang keluar. Jabal mauta telah berada semenjak zaman Firaun dinasti yang ke -26 hingga zaman Yunani (Ptolemaic) dan masa kekaisaran Romawi.

Dari sekian ribu mumi yang dikuburkan terdapat empat nama pekuburan yang terkenal. Pertama; Kuburan Buaya. Keistimewaan makam ini adalah gambar buaya berwarna kuning. Diperkirakan dibangun pada masa akhir dinasti Ptolemeus atau awal Periode kekaisaran Romawi. Sayang sekali, penghuni makam ini tidak dibalsem, atau bisa jadi telah dimumikan tapi ada yang mencuri muminya. Setelah makam dibersihkan dari puing-puing yang berserakan. Gambar yang terdapat di dalamnya adalah gambar buaya. Maka penduduk lokal Siwa menamakan makam ini dengan kuburan buaya.

Kedua; Kuburan Mesu-Isis. Ciri yang menonjol dari makam ini adalah terdapat tengkorak mumi yang masih utuh. Ajaibnya penghuni makam ini tidak menggunakan nama dirinya melainkan memakai nama isterinya. Mungkin ini adalah bentuk rasa kasih sayang penghuni makam bagi isterinya agar nama isterinya dapat terkenang sepanjang masa. Makam ini terdiri dari tiga ruang. Diperkirakan mumi yang diawetkan dalam makam ini hidup pada abad ketiga SM. Bisa dikatakan sezaman dengan makam Si-Amun.

Ketiga; Kuburan Niperpathot. Niperpathot boleh saja diartikan dengan; Pemilik Rumah Thot. Sebuah makam dengan ukuran terbesar serta berusia tertua di oasis Siwa ini. Menurut sumber yang tertulis dari makam ini, yang dimumikan adalah seorang pria yang bertugas sebagai ‘nabi’, utusan, Dewa Osiris. Sekaligus dia menjadi juru tulis wahyu dari Dewa Osiris. Di dalam dinding makam yang seukuran kira-kira dua meter terdapat tulisan dan gambar berwarna merah. Bertuliskan huruf hieroglyph dan bergambarkan tiga sosok orang yang berbusana pakaian khas Firaun. Kain yang terlilit dari pusar hingga mata kaki dengan perhiasan yang menutup dada disertai mahkota kecil di kepala. Sebagai Sang Utusan Dewa maka makam ini teristimewakan dengan prasasti dan gambar.

Keempat; Kuburan Si-Amun. Makam ini berjarak sangat dekat dengan makam Mesu-Isis. Kelebihan makam ini adalah keindahan relief yang berwarna-warni. Dinding makam ini adalah paling menarik dan terindah dari seluruh lukisan dan gambar yang ada di jabal mauta bahkan boleh saya katakan teresotik di Siwa. Makam ini telah dihuni sekitar abad ke-3 SM. Dilihat dari gambar yang terdapat di dinding makam. Pemilik makam ini, Si-Amun jelas adalah seorang berpengaruh, setidaknya dia mempunyai harta kekayaan yang mencukupi untuk membangun sebuah makam yang esotik bagi dirinya. Si-Amun digambarkan sesuai dengan apa yang terlihat di sisi dinding makamnya. Dia seorang yang berewok, berambut keriting tebal berwarna hitam, dan berkulit putih. Isterinya bernama Re’t, berkulitkan warna coklat kemerahan. Sepertinya wanita ini penduduk asli Siwa. Sebagaimana saat ini penduduk Siwa adalah berkulit coklat kemerahan bahkan kehitaman.

Siapa yang membayangkan bahwa mumi di jabal mauta ini berbeda dengan mumi di wilayah lain Mesir. Mumi Firaun yang selalu anda lihat dibuatkan peti mati berukiran seni bercitra rasa tinggi berbalutkan emas di setiap sudut ukiran peti. Bukan itu, Mumi di jabal mauta ini hanya berbalut kain kafan yang dikuburkan di sebuah ruangan kotak. Mumi itu diletakkan begitu saja di atas tanah ruangan itu. Tanpa peti yang menyelimutinya. Selimutnya adalah angin, pasir, dan debu yang mengawetkan jasad.

Proses pemumian sederhana ini menjadi saksi kecerdasan masyarakat Siwa pada zaman itu.

Pada saat Perang Dunia II tentara Italia menginvasi Siwa. Penduduk siwa berbondong-bondong bersembunyi di dalam lorong-terowongan pekuburan jabal mauta. Di sana mereka tinggal bersama dengan mayat dan mumi. Akibat invasi ini, banyak ruang di dalam pekuburan yang rusak. Sisa-sisa asap dan bakaran menempel pada dinding makam.

Bagi saya, jabal mauta bukan sekedar bukit berkerucut dengan pasir bebatuan kerikil. Namun jabal mauta adalah proses kecerdasan yang bertaburkan seni pahat dan seni lukis. Peradaban ribuan tahun yang dibangun oleh bangsawan kaya yang berlarutkan dengan keindahan para seniman Mesir pada waktu itu. Perpaduan antara kecerdasan akal dengan cita rasa seni inilah yang telah menjadikan jabal mauta bernilai sejarah yang memancarkan kehangatan mentari pagi.

Thursday 5 August 2010

Al-Quran & Traveling

Traveling telah menjadi tema pembahasan di dalam al-Quran. Di dalamnya menceritakan kisah-kisah para traveler masa lampau. Di dalamnya pula menyemangati para traveler yang hidup setelah al-Quran diturunkan. Maka tak heran di zaman kerajaan Islam banyak melahirkan para traveler.

"Katakanlah: ‘berjalanlah di muka bumi!’” (Al-An’am : 11, An-Nahl : 36, An-Naml 69, Al-Ankabut : 20, Ar-Rum : 42)

“Berjalanlah” adalah kata perintah. Bermakna penekanan agar berjalan di muka bumi. Agar melakukan traveling. Mengembara ke setiap jengkal tanah. Menjelajah setiap perbatasan kota. Berpetualang mencari daerah baru yang belum pernah dikunjungi. Karena bumi ini begitu luas untuk dijelajahi. Bumi ini begitu indah untuk dirasakan sedap dan harumnya kehidupan ini.

Di dalam ayat lain ALLAH berfirman: “Katakanlah: ‘perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.’” (Yunus: 101)

Traveling bukan sekedar perjalanan tanpa makna. Tapi setiap yang dilihat dan didengar harus menghasilkan ilmu. Maka perhatikanlah bagaimana budaya dan bahasa di setiap daerah yang dikunjungi. Perhatikanlah kebiasaan dan keesotikan suku dan bangsa yang berbeda. Perhatikanlah keistimewaan adat-istiadat mereka. Berkenalanlah. Cicipilah masakan mereka. Bergaullah dengan penduduk setempat.

Tidakkah mereka bepergian di atas muka bumi.” (Yusuf: 109)

Air yang tidak mengalir maka akan berwarna keruh dan berbau tak sedap. Namun air yang mengalir ia akan segar dan berwarna jernih. Begitu juga manusia yang tidak melakukan traveling jiwa dan pikirannya keruh, sempit, tertutup, dan sulit menerima perbedaan terhadap budaya lain. Tapi seseorang yang hobi traveling, jiwa mereka luas seluas ia memandang alam ini. Pikiran mereka terbuka seperti jendela terbuka selalu mendapat hawa baru, terjadi fentilasi. Menjadikan ruangan segar.

Hingga tatkala dia telah sampai ke tempat terbenam matahari.” (Al-Kahfi: 86)

Ya, ini kisah Dzulqornain, hamba tuhan yang soleh. Yang memiliki kekuasaan dari barat hingga ke timur. Dia melakukan ekspedisi di sejumlah wilayah kerajaannya. Baik di barat maupun di timur. Berbagai suku serta berbagai bangsa bahkan berbagai bahasa dia jumpai selama ekspedisi menjelajahi bumi nan luas ini. Di suatu daerah dia menemukan sekolompok kaum yang tidak memiliki atap rumah. Atap rumah mereka adalah langit. Di daerah lain dia bertemu dengan satu kaum berbeda dialeg dan bahasa.

Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60)

Nabi Musa bertekad akan melakukan traveling untuk mencari seorang guru yang berilmu dan berhikmah. Dia mencarinya hingga bertemu sebuah laut yang berasa asin dan sisi lain berasa tawar. Konon pertemuan dua laut itu berada di Dimyat (Mesir). Jika tak kunjung berjumpa, Musa akan melakukan traveling selama bertahun-tahun. Sebuah tekad yang mengajarkan pada pembaca bahwa traveling telah menjadi sebuah keharusan pada zaman itu untuk memperbaharui jiwa dan untuk berbagi kisah.

Maka tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda ber-traveling.

Semangat al-Quran agar memotivasi para pembacanya untuk ber-traveling telah diaplikasikan oleh para sarjana Muslim.

Imam Bukhori melakukan traveling di sepanjang wilayah negeri Islam. Meninggalkan tanah kelahiran di Bukhara (Uzbekistan sekarang). Melepaskan kerinduan tanah air. Mengembara ke setiap jengkal tanah untuk mencari sebuah hadits. Berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota lain. Melakukan traveling dengan modal dengkul. Dengan modal tekad membaja di dalam dada. Tidur beralaskan tanah. Berteduh di bawah pohon. Bernaung beratapkan langit. Menahan lapar. Merasakan dahaga di tengah padang pasir. Sedih dan duka tak menghalangi traveling ini hingga batas tanah yang tak terkira. Buah dari traveling ini dia dapat membukukan sebuah kitab hadist yang berjudul Shohih Bukhori. Sebuah kitab terautentik setelah al-Quran.

Traveler lain, Imam as-Suyuthi. Semasa mudanya melakukan traveling ke berbagai negara. Sebelumnya dia telah menjelajahi setiap jengkal tanah Mesir, negara kelahirannya. Selepas itu dia melakukan traveling kembali menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah Haji. Dia telah mengunjungi Yaman, Syria, Palestina, bahkan India, serta beberapa negara Afrika. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidur dimana saja jika hari telah gelap gulita. Memakan apa saja yang halal untuk bertahan hidup. Selesai bertraveling dia mengurung diri. Merenungi dan mencatat kembali sesuatu yang didapat dari traveling itu. Maka dia menghasilkan tulisan sebanyak seribu judul buku dari yang berupa selembar kertas hingga berjilid-jilid tebalnya.

Apakah hati as-Suyuthi tidak merasa berat meninggalkan zona nyaman?

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.” (At-Taubah : 41)

Perasaan berat maupun tidak nyaman bukan penghalang untuk mencari karunia ALLAH swt di bumi ini. Karena meninggalkan zona kenyamanan adalah ciri pribadi sukses.

Kisah lain, Salman al-Farisi, keturunan bangsawan Persia. Meninggalkan zona kenyamanan mencari seseorang yang hidup di tengah gurun padang pasir. Tidak pernah mengenalnya, hanya bermodalkan sebuah nama dan ciri-ciri. Berkali-kali dia berpindah tangan kepemilikan sebagai budak. Berkali-kali pula dia berpindah tempat dan kota. Pada akhirnya, Jiwa traveling-nya membuahkan hasil, dia menemukan seseorang yang dia cari selama bertahun-tahun di kota Madinah. Dia begitu gembira. Ada tangis dari matanya, tangis senang dan tangis bahagia. Dia juga yang mengajukan ide agar membuat parit sebagai strategi pertahanan menjaga kota Madinah dari serangan pihak luar. Yang dikenal dengan perang Khondak.

Ibnu batutah, nama yang tak asing bagi pengembara Muslim. Di saat zaman belUm ditemukan pesawat. Tidak ada kendaraan bermesin. Dia mengawali traveling ketika berusia 21 tahun. Karena tekad yang kuat untuk mengeksplorasi bumi ini. Dia telah menjelajahi ribuan desa maupun kota. Melewati empat puluhan negara. Hingga dia pun telah menginjakkan kakinya di Aceh, Sumatera (Indonesia sekarang). Kisah seluruh perjalanan Ibnu Batutah telah diabadikan oleh Ibnu Jauzi berdasarkan penuturan langsung dari sang traveler. Karya itu berjudul Tuhfah Al-Nuzzar fi Ghara’ib Al-Amsar wa Ajaib Al-Asfar. Pada abad kegelapan di Eropa karya ini menjadi bahan bacaan populer di sana.

Maka benar apa yang telah Imam Syafii katakan: “Ber-traveling-lah! Kamu akan mendapatkan kerabat dan teman baru.”

Wednesday 4 August 2010

Kehidupan Malam

Pada malam hari menelusuri kota Cairo bersama Jasmine. Melewati jalan raya yang memberikan kesan modern di tengah padang pasir afrika. Ditambah dengan gedung bertingkat yang gagah menjulang ke langit. Dengan fasilitas trotoar bagi pejalan kaki yang melintas di tepi jalan raya maupun di tepi sungai Nil.

Melewati Maidan Tahrir. Tempat ini memberi keluasaan para pemuda maupun pemudi duduk bercengkrama di sebuah taman di tengah kota Cairo. Mereka duduk berdua bersama kekasih memadu rayu dan kasih. Jalan berbentuk lingkaran merupakan sebuah solusi bagi kemacetan lalu lintas pada saat jam kerja.

Mobil-mobil berseliweran padat. Meski terdapat lampu lalu-lintas para sopir menganggap itu hanya sebuah hiasan saja tidak harus ditaati. Agar tertib polisi lalu-lintas turun ke jalan untuk menertibkan para pengguna kendaraan di jalan raya ini.

Jangan berharap ada fasilitas jembatan penyeberangan. Jembatan ini hanya merusakkan keindahan kota cairo. Para penata kota membuat alternative yang cerdas. Membangun lorong bawah tanah (nafaq/anfaq) untuk melintas dari sisi jalan raya ke sisi yang lain. Tentu tak heran di sepanjang jalan raya di sekitar Maidan Tahrir terdapat terowongan yang saling menghubungkan satu tempat ke tempat lain.

“Saya menjelajahi Sumatera, Jawa, Lombok, dan Bali.” Tempat yang pernah Jasmine singgahi saat berada di Indonesia. Dia tidak sempat mengelilingi seluruh wilayah Indonesia. “Tapi saya sudah mengelilingi Malaysia dan Thailand.”

“Orang Indonesia ramah dan baik.” Mengingat masa lalunya tentang negara tersebut.

Indonesia begitu luas hingga Jasmine sebagai backpacker tak cukup waktu untuk menjelajah seluruh wilayah Indonesia seluas membentang dari Perancis hingga Qatar.

“Menurutmu buku ini bagus.” Ujar Jasmine menyodorkan padaku sebuah buku percakapan bahasa Arab dengan terjemahan bahasa Inggris.

Penjual buku memandang gerak-gerikku dan Jasmine. Buku-buku menghampar luas di tepi trotoar. Kedai buku emperan mengambil sepetak hak pejalan kaki. Buku-buku yang dijual masalah agama, humor, politik, kamus, dan panduan memasak. Tidak banyak orang yang berlalu melirik kedai buku emperan ini. Sepanjang hari mereka telah penat dengan berbagai kerjaan di kantor.

“Kamu ingin makan malam.” Jasmine mengajakku tersenyum.

Kedai makanan menjual berbagai makanan khas Mesir. Aiman membayarkan makanan untuk Barbara dan Jasmine. Sedangkan Omar membayarkan makananku. Aiman dan Omar sebagai orang Mesir, tuan rumah, merasa gengsi jika orang asing yang membayar. Ini memang bentuk penghormatan orang Mesir kepada orang asing.

Omar yang baru saja aku kenal di markab. Telah menjadi akrab denganku. Inilah kelebihan orang Mesir begitu mudah mengakrabi dan membuat senang orang asing. Saya memesan tho’miyah bilbaidh dan Omar memesan adas. Kedai makanan ini mengharuskan bayar terlebih dahulu selepas itu menerima sajian makanan yang telah dipesan. Manajemen semacam ini merata di seluruh penjuru kota. Tho’miyah bilbaidh, roti tipis yang diisi dengan makanan terbuat dari kacang parang dihaluskan dibulatkan kemudian digoreng, dicampur telor rebus, sayuran, dan thohinah. Sedangkan adas, biji-bijian berwarna kuning yang direbus bersama susu hingga lembut.

Kedai memanjang kedalam. Tidak ada kursi tapi disediakan meja kecil di tengah dan di setiap sisi tembok kedai. Kami semua pengunjung kedai makan dengan berdiri.

Cafe telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Mesir di perkotaan. Beberapa café pun telah memasuki sudut pedesaan.

Aiman tidak asing dengan kehidupan cafe ini. Penjaga café telah mengenalnya dengan baik, semacam dia telah sering mengunjungi café ini. Karena café penuh oleh pengunjung. Pelayan café menyediakan bagi kami meja dan kursi di luar area café. Saya dan Omar memesan es limun. Barbara dan jasmine meminta es yoghurt. Sedangkan Aiman memesan teh panas.

Duduk di café tentu saja tidak terlepas dengan shisha (rokok Arab). Mereka memesan shisha rasa strawberry. Aiman menawarkan. Saya dan omar menolak menghisap shisha.

Menghirup selang shisha, menahan, dan menghembuskannya melalui mulut. Wuuuh, asap putih tebal keluar dari mulut Aiman. Jasmine dan Barbara pun melakukan hal sama, tapi asap yang keluar tak sebanyak hisapan cowok Mesir ini.

Aiman bukan orang yang suka berbicara. Dia berbicara saat ditanya saja. Omar pandai berbahasa Jerman dan Inggris tentu juga bahasa Arab. Dia memiliki trik melatih percakapan bahasanya. Dia banyak bergaul dengan turis asing yang berkunjung ke Mesir. Hasilnya dia begitu pandai dan lancar berbahasa asing. Meski demikian dia termasuk jutaan orang yang menganggur di negari ini. Karena terbatasnya lapangan pekerjaan. Hal ini tidak membuatnya putus asa. Dia tetap riang menjalani hidup ini.

Muhammad, saudara sepupu Aiman, datang ikut bergabung. Berpostur tubuh gendut, berkulit hitam seperti sepupunya. Dia lebih suka terdiam tak berbicara banyak.

Berjam-jam duduk di café diisi dengan obrolan. Hari semakin larut malam. Manusia bertambah ramai berlalu lalang melewati tepi jalan tempat duduk ini.

Pindah ke café lain.

Café ini tertutup. Pelayan café menanyakan identitas Omar. Dia memperlihatkan KTP dan sebuah kartu tourist guide. Pelayan membolak-balik kedua kartu tersebut. Mempersilahkan masuk.

“Pesan berapa botol bir?” Tanya seorang pelayan sambil memegang tiga botol bir dan pembukanya.

Saya menolak dengan ramah sambil menggelengkan kepala. Semua pengunjung café ini di setiap mejanya tersedia botol bir. Bir di sini bermerek Stella. Saya tidak melihat ada merek lain selain merek Stella. Di sisi depan mejaku ada dua orang sedang bermain domino. Mata mereka memerah tanpa menyisakan putih. Berbotol-botol telah habis mereka minum. Entah sudah berapa lama mereka duduk di sana.

Di sisi kiri seorang tante Mesir berambut pirang. Dia meminum bir sedap sekali seakan meminum air putih. Dia terburu-buru hendak pergi. Uang berlembar-lembar bergambar sphinx keluar dari dompetnya diserahkan pada pelayan café.

Di sisi lain para pengunjung café tengah sibuk menonton pertandingan sepakbola. Suara sorak gemurai memekikkan ruangan pengap di dalam café.

Malam telah bergulita. Manusia di café ini menjadi gelap terbawa mabuk khayalan. Saya mulai mengalami kebosanan di tempat seperti ini. Saya pun izin pulang dengan beralasan sudah larut malam.

(bersambung)

Tuesday 3 August 2010

Felucca On the Nile

"Mesir adalah hadiah dari sungai Nil" (Herodotus, sejarahwan Yunani abad kelima)

Bagi masyarakat Mesir, sungai Nil adalah segalanya. Karena mereka minum air dari sungai ini. Mencuci dan memasak dengan air ini. Memakan ikan yang ada di dalamnya dan memanfaatkan sebagai alat irigasi dan transportasi.

Sungai Nil memberikan Mesir kehidupan. Memberikan tanah yang subur, pepohonan hijau, persawahan, buah-buahan, sayur mayur, serta sebagai sumber pembangkit listrik. Boleh dikatakan tidak ada sungai Nil maka tidak ada Mesir. Dahulu kala sungai ini adalah jalur yang menyambungkan antar kota serta wilayah di Mesir. Wilayah yang terletak di hulu terhubungkan dengan daerah hilir melalui jalur sungai. Alat transfortasi sungai adalah markab (perahu kayu atau felucca). Markab ini adalah perahu tradisional Mesir yang telah digunakan semenjak zaman Firaun.

Setelah membaca email dari Jasmine bahwa dia mengajak saya agar ikut bersamanya menaiki markab di sungai Nil Cairo. Saya mengiyakan ajakan dia karena ingin merasakan menaiki markab ini. Kami berjanji bertemu di depan gerbang Opera House Cairo pada sore hari.

Di sana dia telah menungguku bersama dengan seorang Mesir. Kulihat jasmine begitu ramah. Jasmine, berhidung mancung, berambut pirang, berasal dari Australia, mampu bercakap bahasa Indonesia. Namun sudah mulai lupa karena dia tidak sering menggunakan lagi. Mengenakan kaos merah dan celana panjang hitam. Ada tato serangga berwarna biru di leher sebelah kiri. Langkahnya meyakinkan, bertubuh langsing, dan berkulit kemerah-merahan.

Matahari mulai ranum dan langit berwarna orange keputih-putihan. Air sungai Nil memancarkan warna biru disertai hembusan angin yang sepoi-sepoi. Menambah sejuk dan penasaran naik markab, perahu tradisional mesir kuno.

Tali tambang dilepaskan dari jangkar markab menjauh dari tepi sungai dan layar pun terkembang. Perlahan namun pasti markab mengarungi air sungai. Nakhoda perahu memastikan markab berlayar sesuai harapan.

Wajah-wajah tersenyum dari penumpang markab terpancar menambah terang pelayaran ini. Ombak sungai kecil menjadikan goncangan markab tak terasa keras. Jumlah penumpang markab ini berjumlah enam orang; Saya, Aiman, Omar, Jasmine, Barbara, dan seorang nakhoda.

Aiman, pemuda dari Aswan. Dia yang membawa Jasmine untuk menaiki markab. Berkulit gelap, berambut gimbal, mengenakan kaos merah bertuliskan Lee, dan celana pendek putih. Perawakannya besar, berkacamata hitam, gaya mirip penyanyi Rap. Dia menawar dan bernegosiasi harga sekali berlayar markab.

Percikan air sungai nil menambah sejuk udara sore ini. Nakhoda mengendorkan tali tambnag agar layar terkembang ke depan, membuat markab melaju kehadapan gelombang air sungai Nil.

Di depan markab nampak Omar dan barbara berdiskusi tentang keesotikan sungai Nil beserta keunikan Mesir. Mereka Akrab, ramah, seakan orang yang telah lama tak berjumpa. Omar, pemuda lahir di Cairo, murah senyum, pendek, berkulit sawo matang, berambut keriting, mengenakan kaos celana jeans hitam.

Dan Barbara, berkulit putih, berwajah oval, berambut lurus dan hitam, memakai kaos kutang ditutupi dengan kain serban putih. Saya tidak banyak berbicara dengan Barbara. Mungkin dikarenakan belum saling kenal satu dengan lain. Wanita ini berasal dari Jerman yang mengganti kewarganegaraan menjadi Canada.

Bentuk markab saat ini tetap dipertahankan seperti pada zaman Firaun yang terbuat dari kayu. Markab dilengkapi bantal di sekitar lingkar sisi markab dan sebuah meja terletak di tengah-tengah. Markab berlayar dengan lambat. Gelombang air menggerakkan markab naik turun bergoyang-goyang lembut. Untuk membelokkan markab sang nakhoda menarik layar sesuai arah yang dituju. Jika ingin markab belok kanan nakhoda mengendorkan layar ke arah kanan. Maka angin meniup layar dan layar bergelembung ke kanan. Dan Markab berlayar mengikuti gelembung layar.

Bagai nenek moyangku seorang pelaut menerjang ombak melawan badai. Saya membayangkan melintasi lautan sepanjang Nusantara yang dikelilingi oleh air.

Berapa gaji sebulan menjadi nakhoda markab?
“Enam ratus geneih.” Ungkap nakhoda sambil menuliskan angka enam dan nol di pahaku.

Nakhoda ini bernama Ibrahim. Ia berasal dari Tanta. Berbadan besar dan kekar. Mengenakan galabiyah (pakaian jubah khas Mesir yang bercirikan longgar di lengan) berwarna biru gelap dan sorban di kepala. Kulit agak gelap karena sepanjang hari terbakar cahaya matahari. Dia memiliki fisik yang kuat. Meski telah berusia enam puluh enam tahun dia masih sanggup menakhodai markab ini.

Markab atau felucca ini adalah alat transportasi utama di Mesir selama berabad-abad lamanya. Pada zaman dahulu berguna sebagai Pengangkut tentara Mesir kuno. membawa surat-surat penting Mesir dari wilayah hulu ke hilir dan sebaliknya. Markab ini berlayar sepenuhnya bergantung kepada angin.

Markab memiliki sebuah layar lateen, layar putih berbentuk segitiga yang meninggi ke atas terikat pada tiang panjang yang ukurannya lebih panjang dari markab itu sendiri. Tiang dipasang di tengah. Posisi lantai kayu depan dan belakang markab lebih tinggi daripada posisi lantai di tengah. Luas deck markab sempit dan rendah. Kemudi menggunakan dayung yang terletak di belakang. Markab berlayar menggantungkan pada angin dan arus sungai.

“Saya bekerja semacam ini sudah lima puluh lima tahun.” Kata Ibrahim bangga dengan menampakkan senyum dari wajahnya.

“Semenjak usia sebelas tahun saya telah berlayar.”

Saya melihat markab berjumlah tujuh buah yang bersandar di tepi sungai. Semua markab ini adalah milik pribadi. Pemiliknya seorang bapak tua berasal dari Aswan. Berbadan kurus mengenakan galabiyah putih. Berkulit coklat kegelapan namun murah senyum.

Ibrahim hanya seorang pekerja yang bekerja dari jam delapan pagi hingga pukul dua malam. Menghabiskan waktunya di sungai Nil, berkawan angin dan air.

Markab berlayar mendekati jembatan. Berputar ke kanan. Berganti halauan ke kiri. Terus berputar di sisi jembatan.

Matahari mulai terbenam. Cahaya merah di atas langit. Suasana sunyi meski dari kejauhan mobil berlalu-lalang. Tapi warna biru air berubah menjadi sejuk dengan suara percikan membasahi dinding markab.

Markab menuju pelabuhan setelah membawa kami berlayar selama satu jam. Rasa puas merasuki hati. Senyum bahagia terlukis di wajah.

Aiman memberikan selembar uang kertas sebesar lima puluh geneih ke nakhoda.

Markab dan air sungai Nil seakan melambai melepas kepergian kami.

(bersambung)