Wednesday 4 August 2010

Kehidupan Malam

Pada malam hari menelusuri kota Cairo bersama Jasmine. Melewati jalan raya yang memberikan kesan modern di tengah padang pasir afrika. Ditambah dengan gedung bertingkat yang gagah menjulang ke langit. Dengan fasilitas trotoar bagi pejalan kaki yang melintas di tepi jalan raya maupun di tepi sungai Nil.

Melewati Maidan Tahrir. Tempat ini memberi keluasaan para pemuda maupun pemudi duduk bercengkrama di sebuah taman di tengah kota Cairo. Mereka duduk berdua bersama kekasih memadu rayu dan kasih. Jalan berbentuk lingkaran merupakan sebuah solusi bagi kemacetan lalu lintas pada saat jam kerja.

Mobil-mobil berseliweran padat. Meski terdapat lampu lalu-lintas para sopir menganggap itu hanya sebuah hiasan saja tidak harus ditaati. Agar tertib polisi lalu-lintas turun ke jalan untuk menertibkan para pengguna kendaraan di jalan raya ini.

Jangan berharap ada fasilitas jembatan penyeberangan. Jembatan ini hanya merusakkan keindahan kota cairo. Para penata kota membuat alternative yang cerdas. Membangun lorong bawah tanah (nafaq/anfaq) untuk melintas dari sisi jalan raya ke sisi yang lain. Tentu tak heran di sepanjang jalan raya di sekitar Maidan Tahrir terdapat terowongan yang saling menghubungkan satu tempat ke tempat lain.

“Saya menjelajahi Sumatera, Jawa, Lombok, dan Bali.” Tempat yang pernah Jasmine singgahi saat berada di Indonesia. Dia tidak sempat mengelilingi seluruh wilayah Indonesia. “Tapi saya sudah mengelilingi Malaysia dan Thailand.”

“Orang Indonesia ramah dan baik.” Mengingat masa lalunya tentang negara tersebut.

Indonesia begitu luas hingga Jasmine sebagai backpacker tak cukup waktu untuk menjelajah seluruh wilayah Indonesia seluas membentang dari Perancis hingga Qatar.

“Menurutmu buku ini bagus.” Ujar Jasmine menyodorkan padaku sebuah buku percakapan bahasa Arab dengan terjemahan bahasa Inggris.

Penjual buku memandang gerak-gerikku dan Jasmine. Buku-buku menghampar luas di tepi trotoar. Kedai buku emperan mengambil sepetak hak pejalan kaki. Buku-buku yang dijual masalah agama, humor, politik, kamus, dan panduan memasak. Tidak banyak orang yang berlalu melirik kedai buku emperan ini. Sepanjang hari mereka telah penat dengan berbagai kerjaan di kantor.

“Kamu ingin makan malam.” Jasmine mengajakku tersenyum.

Kedai makanan menjual berbagai makanan khas Mesir. Aiman membayarkan makanan untuk Barbara dan Jasmine. Sedangkan Omar membayarkan makananku. Aiman dan Omar sebagai orang Mesir, tuan rumah, merasa gengsi jika orang asing yang membayar. Ini memang bentuk penghormatan orang Mesir kepada orang asing.

Omar yang baru saja aku kenal di markab. Telah menjadi akrab denganku. Inilah kelebihan orang Mesir begitu mudah mengakrabi dan membuat senang orang asing. Saya memesan tho’miyah bilbaidh dan Omar memesan adas. Kedai makanan ini mengharuskan bayar terlebih dahulu selepas itu menerima sajian makanan yang telah dipesan. Manajemen semacam ini merata di seluruh penjuru kota. Tho’miyah bilbaidh, roti tipis yang diisi dengan makanan terbuat dari kacang parang dihaluskan dibulatkan kemudian digoreng, dicampur telor rebus, sayuran, dan thohinah. Sedangkan adas, biji-bijian berwarna kuning yang direbus bersama susu hingga lembut.

Kedai memanjang kedalam. Tidak ada kursi tapi disediakan meja kecil di tengah dan di setiap sisi tembok kedai. Kami semua pengunjung kedai makan dengan berdiri.

Cafe telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Mesir di perkotaan. Beberapa café pun telah memasuki sudut pedesaan.

Aiman tidak asing dengan kehidupan cafe ini. Penjaga café telah mengenalnya dengan baik, semacam dia telah sering mengunjungi café ini. Karena café penuh oleh pengunjung. Pelayan café menyediakan bagi kami meja dan kursi di luar area café. Saya dan Omar memesan es limun. Barbara dan jasmine meminta es yoghurt. Sedangkan Aiman memesan teh panas.

Duduk di café tentu saja tidak terlepas dengan shisha (rokok Arab). Mereka memesan shisha rasa strawberry. Aiman menawarkan. Saya dan omar menolak menghisap shisha.

Menghirup selang shisha, menahan, dan menghembuskannya melalui mulut. Wuuuh, asap putih tebal keluar dari mulut Aiman. Jasmine dan Barbara pun melakukan hal sama, tapi asap yang keluar tak sebanyak hisapan cowok Mesir ini.

Aiman bukan orang yang suka berbicara. Dia berbicara saat ditanya saja. Omar pandai berbahasa Jerman dan Inggris tentu juga bahasa Arab. Dia memiliki trik melatih percakapan bahasanya. Dia banyak bergaul dengan turis asing yang berkunjung ke Mesir. Hasilnya dia begitu pandai dan lancar berbahasa asing. Meski demikian dia termasuk jutaan orang yang menganggur di negari ini. Karena terbatasnya lapangan pekerjaan. Hal ini tidak membuatnya putus asa. Dia tetap riang menjalani hidup ini.

Muhammad, saudara sepupu Aiman, datang ikut bergabung. Berpostur tubuh gendut, berkulit hitam seperti sepupunya. Dia lebih suka terdiam tak berbicara banyak.

Berjam-jam duduk di café diisi dengan obrolan. Hari semakin larut malam. Manusia bertambah ramai berlalu lalang melewati tepi jalan tempat duduk ini.

Pindah ke café lain.

Café ini tertutup. Pelayan café menanyakan identitas Omar. Dia memperlihatkan KTP dan sebuah kartu tourist guide. Pelayan membolak-balik kedua kartu tersebut. Mempersilahkan masuk.

“Pesan berapa botol bir?” Tanya seorang pelayan sambil memegang tiga botol bir dan pembukanya.

Saya menolak dengan ramah sambil menggelengkan kepala. Semua pengunjung café ini di setiap mejanya tersedia botol bir. Bir di sini bermerek Stella. Saya tidak melihat ada merek lain selain merek Stella. Di sisi depan mejaku ada dua orang sedang bermain domino. Mata mereka memerah tanpa menyisakan putih. Berbotol-botol telah habis mereka minum. Entah sudah berapa lama mereka duduk di sana.

Di sisi kiri seorang tante Mesir berambut pirang. Dia meminum bir sedap sekali seakan meminum air putih. Dia terburu-buru hendak pergi. Uang berlembar-lembar bergambar sphinx keluar dari dompetnya diserahkan pada pelayan café.

Di sisi lain para pengunjung café tengah sibuk menonton pertandingan sepakbola. Suara sorak gemurai memekikkan ruangan pengap di dalam café.

Malam telah bergulita. Manusia di café ini menjadi gelap terbawa mabuk khayalan. Saya mulai mengalami kebosanan di tempat seperti ini. Saya pun izin pulang dengan beralasan sudah larut malam.

(bersambung)

3 comments:

  1. Halaaaaaaaaaah......ajak2 lah mi..!! mentang2 udah ga sekantor lagi, lupa dah ama kawan lama.

    ReplyDelete
  2. Irkham dah kayak jurnalis aja ya,, hehehe.. sapa tau kelak ngisi acara jejak petualangan di negeri orang :)

    ReplyDelete