Tuesday 3 August 2010

Felucca On the Nile

"Mesir adalah hadiah dari sungai Nil" (Herodotus, sejarahwan Yunani abad kelima)

Bagi masyarakat Mesir, sungai Nil adalah segalanya. Karena mereka minum air dari sungai ini. Mencuci dan memasak dengan air ini. Memakan ikan yang ada di dalamnya dan memanfaatkan sebagai alat irigasi dan transportasi.

Sungai Nil memberikan Mesir kehidupan. Memberikan tanah yang subur, pepohonan hijau, persawahan, buah-buahan, sayur mayur, serta sebagai sumber pembangkit listrik. Boleh dikatakan tidak ada sungai Nil maka tidak ada Mesir. Dahulu kala sungai ini adalah jalur yang menyambungkan antar kota serta wilayah di Mesir. Wilayah yang terletak di hulu terhubungkan dengan daerah hilir melalui jalur sungai. Alat transfortasi sungai adalah markab (perahu kayu atau felucca). Markab ini adalah perahu tradisional Mesir yang telah digunakan semenjak zaman Firaun.

Setelah membaca email dari Jasmine bahwa dia mengajak saya agar ikut bersamanya menaiki markab di sungai Nil Cairo. Saya mengiyakan ajakan dia karena ingin merasakan menaiki markab ini. Kami berjanji bertemu di depan gerbang Opera House Cairo pada sore hari.

Di sana dia telah menungguku bersama dengan seorang Mesir. Kulihat jasmine begitu ramah. Jasmine, berhidung mancung, berambut pirang, berasal dari Australia, mampu bercakap bahasa Indonesia. Namun sudah mulai lupa karena dia tidak sering menggunakan lagi. Mengenakan kaos merah dan celana panjang hitam. Ada tato serangga berwarna biru di leher sebelah kiri. Langkahnya meyakinkan, bertubuh langsing, dan berkulit kemerah-merahan.

Matahari mulai ranum dan langit berwarna orange keputih-putihan. Air sungai Nil memancarkan warna biru disertai hembusan angin yang sepoi-sepoi. Menambah sejuk dan penasaran naik markab, perahu tradisional mesir kuno.

Tali tambang dilepaskan dari jangkar markab menjauh dari tepi sungai dan layar pun terkembang. Perlahan namun pasti markab mengarungi air sungai. Nakhoda perahu memastikan markab berlayar sesuai harapan.

Wajah-wajah tersenyum dari penumpang markab terpancar menambah terang pelayaran ini. Ombak sungai kecil menjadikan goncangan markab tak terasa keras. Jumlah penumpang markab ini berjumlah enam orang; Saya, Aiman, Omar, Jasmine, Barbara, dan seorang nakhoda.

Aiman, pemuda dari Aswan. Dia yang membawa Jasmine untuk menaiki markab. Berkulit gelap, berambut gimbal, mengenakan kaos merah bertuliskan Lee, dan celana pendek putih. Perawakannya besar, berkacamata hitam, gaya mirip penyanyi Rap. Dia menawar dan bernegosiasi harga sekali berlayar markab.

Percikan air sungai nil menambah sejuk udara sore ini. Nakhoda mengendorkan tali tambnag agar layar terkembang ke depan, membuat markab melaju kehadapan gelombang air sungai Nil.

Di depan markab nampak Omar dan barbara berdiskusi tentang keesotikan sungai Nil beserta keunikan Mesir. Mereka Akrab, ramah, seakan orang yang telah lama tak berjumpa. Omar, pemuda lahir di Cairo, murah senyum, pendek, berkulit sawo matang, berambut keriting, mengenakan kaos celana jeans hitam.

Dan Barbara, berkulit putih, berwajah oval, berambut lurus dan hitam, memakai kaos kutang ditutupi dengan kain serban putih. Saya tidak banyak berbicara dengan Barbara. Mungkin dikarenakan belum saling kenal satu dengan lain. Wanita ini berasal dari Jerman yang mengganti kewarganegaraan menjadi Canada.

Bentuk markab saat ini tetap dipertahankan seperti pada zaman Firaun yang terbuat dari kayu. Markab dilengkapi bantal di sekitar lingkar sisi markab dan sebuah meja terletak di tengah-tengah. Markab berlayar dengan lambat. Gelombang air menggerakkan markab naik turun bergoyang-goyang lembut. Untuk membelokkan markab sang nakhoda menarik layar sesuai arah yang dituju. Jika ingin markab belok kanan nakhoda mengendorkan layar ke arah kanan. Maka angin meniup layar dan layar bergelembung ke kanan. Dan Markab berlayar mengikuti gelembung layar.

Bagai nenek moyangku seorang pelaut menerjang ombak melawan badai. Saya membayangkan melintasi lautan sepanjang Nusantara yang dikelilingi oleh air.

Berapa gaji sebulan menjadi nakhoda markab?
“Enam ratus geneih.” Ungkap nakhoda sambil menuliskan angka enam dan nol di pahaku.

Nakhoda ini bernama Ibrahim. Ia berasal dari Tanta. Berbadan besar dan kekar. Mengenakan galabiyah (pakaian jubah khas Mesir yang bercirikan longgar di lengan) berwarna biru gelap dan sorban di kepala. Kulit agak gelap karena sepanjang hari terbakar cahaya matahari. Dia memiliki fisik yang kuat. Meski telah berusia enam puluh enam tahun dia masih sanggup menakhodai markab ini.

Markab atau felucca ini adalah alat transportasi utama di Mesir selama berabad-abad lamanya. Pada zaman dahulu berguna sebagai Pengangkut tentara Mesir kuno. membawa surat-surat penting Mesir dari wilayah hulu ke hilir dan sebaliknya. Markab ini berlayar sepenuhnya bergantung kepada angin.

Markab memiliki sebuah layar lateen, layar putih berbentuk segitiga yang meninggi ke atas terikat pada tiang panjang yang ukurannya lebih panjang dari markab itu sendiri. Tiang dipasang di tengah. Posisi lantai kayu depan dan belakang markab lebih tinggi daripada posisi lantai di tengah. Luas deck markab sempit dan rendah. Kemudi menggunakan dayung yang terletak di belakang. Markab berlayar menggantungkan pada angin dan arus sungai.

“Saya bekerja semacam ini sudah lima puluh lima tahun.” Kata Ibrahim bangga dengan menampakkan senyum dari wajahnya.

“Semenjak usia sebelas tahun saya telah berlayar.”

Saya melihat markab berjumlah tujuh buah yang bersandar di tepi sungai. Semua markab ini adalah milik pribadi. Pemiliknya seorang bapak tua berasal dari Aswan. Berbadan kurus mengenakan galabiyah putih. Berkulit coklat kegelapan namun murah senyum.

Ibrahim hanya seorang pekerja yang bekerja dari jam delapan pagi hingga pukul dua malam. Menghabiskan waktunya di sungai Nil, berkawan angin dan air.

Markab berlayar mendekati jembatan. Berputar ke kanan. Berganti halauan ke kiri. Terus berputar di sisi jembatan.

Matahari mulai terbenam. Cahaya merah di atas langit. Suasana sunyi meski dari kejauhan mobil berlalu-lalang. Tapi warna biru air berubah menjadi sejuk dengan suara percikan membasahi dinding markab.

Markab menuju pelabuhan setelah membawa kami berlayar selama satu jam. Rasa puas merasuki hati. Senyum bahagia terlukis di wajah.

Aiman memberikan selembar uang kertas sebesar lima puluh geneih ke nakhoda.

Markab dan air sungai Nil seakan melambai melepas kepergian kami.

(bersambung)

No comments:

Post a Comment