Friday 9 July 2010

Siwa, Kota Diantara Gurun Sahara

Padang pasir, padang pasir, dan padang pasir teman hidup dan perjalanan penduduk di oase siwa.

Perjalanan dari Cairo menuju Siwa membutuhkan waktu sepuluh jam. Seluruh kendaraan yang hendak menuju Siwa selalu melewati Matruh. Dari Cairo ke Matruh ditempuh enam jam. Para pelancong sebelum melanjutkan perjalanan ke Siwa mengambil istirahat di Matruh. Istirahat sejenak untuk menikmati udara laut Mediterania. Dari sini melanjutkan ke Siwa ditempuh empat jam di perjalanan.

Dari Matruh ke Siwa sepanjang perjalanan adalah padang pasir berwarna kuning serta bukit berpasir dengan bebatuan menjulang tajam. Pepohonan di beberapa tempat dapat ditemukan berwarna hijau tertutup pasir. Tak ada rumah sepanjang menempuh perjalanan ini. Jika melihat beberapa bangunan itu bukanlah rumah tapi pos keamanan tentara yang menjaga dan berlatih di gurun sahara ini.

Udara panas mengantarku sampai di kota Siwa. Kota di tengah-tengah gurun pasir sahara. berpenduduk sekitar tiga puluh ribu jiwa.

Markaz (ibukota) Siwa berwarna coklat dari bangunan, jalanan, penduduk, semua berwarna coklat. Bangunan nampak kuno berbentuk kotak memanjang ke atas, rata-rata bangunan hanya dua tingkat. Penduduk sepi, tidak seperti kota di Mesir yang ramai pada umumnya. Terlihat beberapa orang yang berlalu lalang. Toko-toko kecil tak ada aktifitas pengunjung, tak ada transaksi penjualan. Hingga penjaga toko pun aku tak melihatnya, mungkin karena mereka bosan menunggu kesepian tanpa pembeli.

Di pusat markaz Siwa mengingatkan sebuah susunan kota di Jawa, biasa disebut dengan alun-alun. Ada taman, dengan Masjid dan pasar disekitarnya. Begitu juga Siwa terdapat taman berbentuk segiempat tumbuh rumput hijau dengan fasilitas tempat duduk dengan atap di atas untuk berteduh. Di sekitar taman, jalan raya beraspal mengitarinya, nampak satu masjid di tepi taman. pasar di sepanjang taman menjadi teman kesunyian alun-alun ini.

Hasil bumi penduduk siwa; kurma, zaitun, keranjang, dan mulukhiyah. Kurma berwarna hitam yang kering atau basah terasa manis. Zaitun, baik buah maupun minyak menjadi barang utama makanan khas dari Siwa. Kurma dan zaitun adalah produk unggulan kota Siwa sudah terkenal seantero negeri ini.

"Assalamualaikum"
"Waalaikumusalam." Jawab pak tua yang kutemui di jalan. Bibir tersenyum sejuk membuatnya lebih muda dari usianya.
"Dari mana?" Dia bertanya lembut.
"Indonesia." Jawabku.
"Itu apa, pak?" Tanyaku.
"Syali ghodi," Nampaknya dia terburu-buru "kamu bisa naik ke atas, melalui jalan samping itu." Dia memberi isyarat ke ujung jalan. "Tak usah bayar, langsung naik ke atas saja."

Syali ghodi bermakna kota tua. Syali adalah bahasa Barbar yang bermakna kota. Syali ghadi kota kuno tempat tinggal orang barbar pertama kali di Siwa. Mereka membangun rumah di atas bukit yang masih bertahan hingga sekarang.

Kujelajahi syali ghodi. Tembok terbuat dari tanah liat, dengan kamar seukuran semeter. kota mati ini membuatku merinding. Tak ada kesan kehidupan. Lalat pun segan terbang ke sana. Menjelajahi rumah kuno tak berpenghuni. Rumah dibangun dengan pondasi alami bukit karang yang menancap ke dalam dasar bumi. Rumah satu dengan rumah lainnya saling berdekatan hanya dibatasi satu tembok. Kudaki satu persatu anak tangga menuju puncak kota Syali ghadi. Rumah yang padat dengan lorong kecil untuk menghubungkan rumah yang terletak di atas. Jalan penghubung berkelok-kelok memutari bukit ini. Jalanan Syali ghodi ini telah berlobang kecil sebesar ibu jari. Kucoba menginjak lobang itu dengan kuat, tak runtuh. Kemampuan arsitektur suku Barbar di Siwa melebihi kecerdasan arsitektur bangunan pada zamannya. Dari puncak syali ghadi terlihat jabal mauta (kuburan di atas bukit), danau garam, oase siwa, kuil Amon, serta seluruh kota Siwa dapat terlihat dari puncak Shali ghodi.

Sekitar Syali ghodi rumah-rumah berwarna coklat berbentuk kotak dengan jendela kecil-mungil seukuran layar monitor komputer. Pintu pun kecil menyesuaikan dengan bentuk rumah yang sempit. Selain warna coklat seindah warna rumah orang Siwa adalah hijau yang menghiasi jendela dan pintu. dinding rumah penduduk Siwa terbuat dari tanah liat.

Kenapa ukuran jendela rumah orang Siwa kecil?
"Jendela kecil," Jawab Hasan tersenyum "karena saat musim dingin untuk mencegah udara dingin masuk ke dalam rumah, serta saat musim panas untuk mengurangi udara panas."

Hasan berusia 24 tahun. Berambut keriting, kulit coklat, penduduk asli Siwa, berwajah kotak, mengenakan jubah putih. pada saat dia berusia 21 tahun menyelesaikan studi di Universitas Alexandria. Menjadi guru sejarah di kota Siwa. Sekarang di liburan musim panas ini bekerja sebagai penjaga toko minyak zaitun.

itu tembok rumah dari tanah liat. aku penasaran tembok berwarna coklat tanpa hiasan cat.
"Iya." Sambil tersenyum yang menjadi ciri khas keramahan penduduk Siwa.
"Tanah liat," dia melanjutkan "saat musim panas membuat sejuk penghuni rumah. Begitu juga saat musim dingin membuat hangat di dalam rumah."
"Kamu tahu" dia menekankan.
"Di Siwa saat musim dingin, dingin sekali. Orang Swiss, yang hidup dengan salju saja tidak sanggup dinginnya udara Siwa."

Bahasa Siwa memiliki kosakata dan susunan berbeda dengan bahasa Arab Cairo. Bahasa mereka tercampur antara bahasa Arab dan Barbar. beberapa percakapan yang dapat terekam saat di Siwa.
Hente el-hal ennak? apa kabar.
Hente ismiyyet ennak? siapa namamu.
Nama Siwa pun bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Barbar, bermakna mangsa burung.

tidak banyak perempuan yang bertebaran di kota Siwa ini. Namun dalam beberapa kesempatan kumelihat pakaian wanita Siwa, berupa jubah besar nan longgar dengan cadar yang menutup wajah. jubah berwarna abu-abu di hiasi dengan kudung bermotif bulatan hitam putih semacam motif macan tutul.

Matahari semakin malu tuk menampakkan cahaya. Angin menambah segar udara ini. Senyum penduduk Siwa membuat tentram. Apalah waktu yang memisahkan kita. Namun kehangatan di sini selalu bersemayam dalam hati.

Di tempat ini ada dunia lain, kehidupan yang panas dan gersang serta warna kulit penduduknya yang legam. Namun kehidupan damai dan ramah. Panas dan sulitnya kehidupan tak menyurutkan jiwa untuk selalu berbagi yang terbaik di kota antara padang pasir sahara ini.

(bersambung)

5 comments:

  1. hente el hal ennak, kayfa haluk ?
    hente ismiyyet ennak, masmuk ?
    Kedengarannya merdu ya ..

    ReplyDelete
  2. @annisa .. sangat merdu jk diselingi senyum dr penduduk siwa .. sepertinya km bs bhs arab :D

    ReplyDelete
  3. sukron note nya serasa aq dah berjalan-jalan ke sana...btw kpn yo..

    ReplyDelete
  4. @anie .. iya sama2, jika tuhan berkehendak lalu tekad di hati :)

    ReplyDelete