Sunday 11 July 2010

Suq Libiya

Rasa penasaran yang membuatku ingin tahu apa itu suq libiya (pasar Libya). Bermodalkan sebuah nama suq libiya dan tekad untuk mengetahui apa itu suq libiya kuberanikan diri untuk mencari pasar itu.

Rasa takut dan cemas menyelimuti hati. Akankah kutemukan pasar itu malam hari ini, pasar yang hanya pernah terdengar nama tanpa wujud. Kaki mulai melangkah pasti menembus gelap dan angin malam. Melewati jalanan tepi pantai, orang Mesir menyebutnya corniche, berasal dari bahasa Perancis yang mengacu pada tepi jalan utama yang sejajar dengan sungai atau tepi laut. Manusia memenuhi kafetaria sekedar minum ataupun menghisap shisha menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Pemuda-pemudi duduk di trotoar sepanjang jalan utama corniche. Bergurau, berbincang, makan jagung bakar, meminum teh hangat, atau sekedar menghirup serta merasakan sejuknya angin malam di tepi pantai.

Beberapa kali bertanya ke orang yang kutemui di jalan, dimana suq libiya. Jawaban belum memuaskan untuk mencapai suq libiya itu.
"Permisi, dimana suq libiya."
"Kamu lurus terus." Jawab seorang bapak berjenggot putih tipis dengan menunjuk sebuah Masjid dipertigaan jalan yang baru saja terlewati.

Bapak ini bernama Abdurrahman, penduduk asli Matrouh, berpakaian jubah putih, berwajah oval, berambut pendek, berpostur tubuh besar dengan perung buncit ke depan. Daerah yang berdekatan dengan negara lain. Tersimpan emosi dan rasa kebersamaan. Begitu juga Matrouh dan Libya memiliki adat, budaya, dan bahasa yang sama, bahkan garis keturunan mereka pun sama hingga ke Ali. Sebagaimana yang telah umum bahwa Arab dan Israel begitu kuat menjaga garis keturunan. Mereka dapat mengingat berpuluh-puluh garis keturunan ke atas hingga buyutnya buyut.

Rasa nasionalisme dan kebangsaan terkadang harus ditanggalkan karena memiliki adat dan budaya yang berbeda. Karena adat, budaya, dan bahasa yang sama lebih utama meski dipisahkan oleh garis teritorial suatu negara.

Mencintai Mesir atau Libya.
"Libya." Suara pasti nan yakin dari hati pak Abdurrahman sambil tersenyum dia menunjukkan jari ke arah negara Libya.

Jalan raya ini rapi beraspal hitam, mobil tak ramai berlalu lalang. Suasana gelap tapi banyak terdapat toko dan warung. Pembeli hanya satu dua. Banyak simpangan dan perempatan telah terlewati, tak kunjung menemukan suq libiya. Ada ragu tentang info yang kudapat dari bapak itu. Hati mengalami kegelisahan akankah melanjutkan pencarian ini. Karena malam semakin gulita, suasana semakin sepi.

"Setelah itu, di persimpangan jalan akan menemukan pom bensin." Ucapannya kembali terngiang di pikiran setelah melihat lima persimpangan. Kucari pom bensin sebagai sumber patokan. Iya, pom bensin ada di sebelah kiri jalan.
"Terus lurus beberapa meter adalah suq libiya." Lurus kemana, ini ada lima persimpangan.

Biarlah, lurus adalah lurus.

Dari kejauhan lampu-lampu bersinar putih terang. Manusia ramai penuh sesak di sana.

Suq libiya pasar rakyat tersekat dengan bentuk persegi. Seluas dua kali lapangan futsal. Ramai penuh sesak pembeli dan pengunjung. Toko menjual berbagai barang dagangan; sepatu, pakaian, tas, mainan anak, minyak wangi, gantungan kunci, rempah-rempah, makanan, dan barang elektronik.

Sebuah toko menjual cinderamata khas Matrouh; kalung manik-manik, gelang batu, pasir warna-warni disusun menjadi gambar indah dan unik. Penjualnya semangat menawarkan gantungan kunci.
"Lima geneih." Untuk sebuah gantungan kunci berukiran nama sang pembeli dengan huruf latin dan hierogliph.
Diam dan tersenyum saja melihat penjual terus menawarkan barang dagangannya.
"Empat geneih." Dia menurunkan harga berharap agar membeli.

Suq libiya begitu sesak dipenuhi orang mesir. Rata-rata pengunjungnya kaum ibu-ibu dan remaja puteri. Berlawanan dengan penjualnya dari kalangan bapak-bapak dan remaja. Para penjual di pasar rakyat ini tidak agresif dalam menawarkan barang. Semua melayani dengan santai serta senyum tipis. Menjawab sekedarnya untuk pertanyaan seperti; harganya berapa.

Penjual minyak wangi menawarkan dengan tersenyum. Mengambil minyak wangi dan mengusapkan ke tanganku. "Kemarilah." Berulang-ulang memanggil berharap agar membeli.

Pakaian satu setel berupa kaos dan celana panjang training.
"Berapa harganya?" Kutanya ke seorang gadis cantik sedang duduk. Dia menggelengkan kepala dengan menunjuk ke seseorang lelaki berbadan gemuk.
"Tujuh puluh lima geneih." Di Mesir harga barang di pasar rakyat ini terkenal lebih murah dari pasar lainnya. Gadis itu bukan penjual, tersenyum melihat keluguanku.

Suq libiya, pasar Libya, tak terlihat orang Libya, tak ada barang dagangan berasal dari Libya.

Kenapa bernama suq libiya?
"Pertama kali dibuka barang-barang di pasar ini banyak didatangkan dari Libya." Ujar pak Abdurrahman menjawab pertanyaanku. Dia melanjutkan "Suq libiya pun ada di Alexandria."

Pakaian, tas, alat elektronik, dan mainan plastik adalah produk China yang menguasai pasar ini. Barang-barang China yang murah dengan harga miring merajai suq libiya, sebuah pasar rakyat. Pasar ini telah berubah 'nama' dari suq libiya (pasar Libya) menjadi suq shin (pasar China).

(bersambung)

1 comment:

  1. Bener-bener petualang ya... Sendirian di negeri orang mempelajari banyak budaya orang lain. Kalau ditambah kemampuan membaca peluang, sepertinya Mas Irkham bisa menjadi pedagang yang sukses. ^_^

    ReplyDelete