Thursday 5 August 2010

Al-Quran & Traveling

Traveling telah menjadi tema pembahasan di dalam al-Quran. Di dalamnya menceritakan kisah-kisah para traveler masa lampau. Di dalamnya pula menyemangati para traveler yang hidup setelah al-Quran diturunkan. Maka tak heran di zaman kerajaan Islam banyak melahirkan para traveler.

"Katakanlah: ‘berjalanlah di muka bumi!’” (Al-An’am : 11, An-Nahl : 36, An-Naml 69, Al-Ankabut : 20, Ar-Rum : 42)

“Berjalanlah” adalah kata perintah. Bermakna penekanan agar berjalan di muka bumi. Agar melakukan traveling. Mengembara ke setiap jengkal tanah. Menjelajah setiap perbatasan kota. Berpetualang mencari daerah baru yang belum pernah dikunjungi. Karena bumi ini begitu luas untuk dijelajahi. Bumi ini begitu indah untuk dirasakan sedap dan harumnya kehidupan ini.

Di dalam ayat lain ALLAH berfirman: “Katakanlah: ‘perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.’” (Yunus: 101)

Traveling bukan sekedar perjalanan tanpa makna. Tapi setiap yang dilihat dan didengar harus menghasilkan ilmu. Maka perhatikanlah bagaimana budaya dan bahasa di setiap daerah yang dikunjungi. Perhatikanlah kebiasaan dan keesotikan suku dan bangsa yang berbeda. Perhatikanlah keistimewaan adat-istiadat mereka. Berkenalanlah. Cicipilah masakan mereka. Bergaullah dengan penduduk setempat.

Tidakkah mereka bepergian di atas muka bumi.” (Yusuf: 109)

Air yang tidak mengalir maka akan berwarna keruh dan berbau tak sedap. Namun air yang mengalir ia akan segar dan berwarna jernih. Begitu juga manusia yang tidak melakukan traveling jiwa dan pikirannya keruh, sempit, tertutup, dan sulit menerima perbedaan terhadap budaya lain. Tapi seseorang yang hobi traveling, jiwa mereka luas seluas ia memandang alam ini. Pikiran mereka terbuka seperti jendela terbuka selalu mendapat hawa baru, terjadi fentilasi. Menjadikan ruangan segar.

Hingga tatkala dia telah sampai ke tempat terbenam matahari.” (Al-Kahfi: 86)

Ya, ini kisah Dzulqornain, hamba tuhan yang soleh. Yang memiliki kekuasaan dari barat hingga ke timur. Dia melakukan ekspedisi di sejumlah wilayah kerajaannya. Baik di barat maupun di timur. Berbagai suku serta berbagai bangsa bahkan berbagai bahasa dia jumpai selama ekspedisi menjelajahi bumi nan luas ini. Di suatu daerah dia menemukan sekolompok kaum yang tidak memiliki atap rumah. Atap rumah mereka adalah langit. Di daerah lain dia bertemu dengan satu kaum berbeda dialeg dan bahasa.

Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60)

Nabi Musa bertekad akan melakukan traveling untuk mencari seorang guru yang berilmu dan berhikmah. Dia mencarinya hingga bertemu sebuah laut yang berasa asin dan sisi lain berasa tawar. Konon pertemuan dua laut itu berada di Dimyat (Mesir). Jika tak kunjung berjumpa, Musa akan melakukan traveling selama bertahun-tahun. Sebuah tekad yang mengajarkan pada pembaca bahwa traveling telah menjadi sebuah keharusan pada zaman itu untuk memperbaharui jiwa dan untuk berbagi kisah.

Maka tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda ber-traveling.

Semangat al-Quran agar memotivasi para pembacanya untuk ber-traveling telah diaplikasikan oleh para sarjana Muslim.

Imam Bukhori melakukan traveling di sepanjang wilayah negeri Islam. Meninggalkan tanah kelahiran di Bukhara (Uzbekistan sekarang). Melepaskan kerinduan tanah air. Mengembara ke setiap jengkal tanah untuk mencari sebuah hadits. Berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota lain. Melakukan traveling dengan modal dengkul. Dengan modal tekad membaja di dalam dada. Tidur beralaskan tanah. Berteduh di bawah pohon. Bernaung beratapkan langit. Menahan lapar. Merasakan dahaga di tengah padang pasir. Sedih dan duka tak menghalangi traveling ini hingga batas tanah yang tak terkira. Buah dari traveling ini dia dapat membukukan sebuah kitab hadist yang berjudul Shohih Bukhori. Sebuah kitab terautentik setelah al-Quran.

Traveler lain, Imam as-Suyuthi. Semasa mudanya melakukan traveling ke berbagai negara. Sebelumnya dia telah menjelajahi setiap jengkal tanah Mesir, negara kelahirannya. Selepas itu dia melakukan traveling kembali menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah Haji. Dia telah mengunjungi Yaman, Syria, Palestina, bahkan India, serta beberapa negara Afrika. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidur dimana saja jika hari telah gelap gulita. Memakan apa saja yang halal untuk bertahan hidup. Selesai bertraveling dia mengurung diri. Merenungi dan mencatat kembali sesuatu yang didapat dari traveling itu. Maka dia menghasilkan tulisan sebanyak seribu judul buku dari yang berupa selembar kertas hingga berjilid-jilid tebalnya.

Apakah hati as-Suyuthi tidak merasa berat meninggalkan zona nyaman?

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.” (At-Taubah : 41)

Perasaan berat maupun tidak nyaman bukan penghalang untuk mencari karunia ALLAH swt di bumi ini. Karena meninggalkan zona kenyamanan adalah ciri pribadi sukses.

Kisah lain, Salman al-Farisi, keturunan bangsawan Persia. Meninggalkan zona kenyamanan mencari seseorang yang hidup di tengah gurun padang pasir. Tidak pernah mengenalnya, hanya bermodalkan sebuah nama dan ciri-ciri. Berkali-kali dia berpindah tangan kepemilikan sebagai budak. Berkali-kali pula dia berpindah tempat dan kota. Pada akhirnya, Jiwa traveling-nya membuahkan hasil, dia menemukan seseorang yang dia cari selama bertahun-tahun di kota Madinah. Dia begitu gembira. Ada tangis dari matanya, tangis senang dan tangis bahagia. Dia juga yang mengajukan ide agar membuat parit sebagai strategi pertahanan menjaga kota Madinah dari serangan pihak luar. Yang dikenal dengan perang Khondak.

Ibnu batutah, nama yang tak asing bagi pengembara Muslim. Di saat zaman belUm ditemukan pesawat. Tidak ada kendaraan bermesin. Dia mengawali traveling ketika berusia 21 tahun. Karena tekad yang kuat untuk mengeksplorasi bumi ini. Dia telah menjelajahi ribuan desa maupun kota. Melewati empat puluhan negara. Hingga dia pun telah menginjakkan kakinya di Aceh, Sumatera (Indonesia sekarang). Kisah seluruh perjalanan Ibnu Batutah telah diabadikan oleh Ibnu Jauzi berdasarkan penuturan langsung dari sang traveler. Karya itu berjudul Tuhfah Al-Nuzzar fi Ghara’ib Al-Amsar wa Ajaib Al-Asfar. Pada abad kegelapan di Eropa karya ini menjadi bahan bacaan populer di sana.

Maka benar apa yang telah Imam Syafii katakan: “Ber-traveling-lah! Kamu akan mendapatkan kerabat dan teman baru.”

3 comments:

  1. trimkasih atas artikelnya.... sungguh sangat mnmbah pngetahuan.

    ReplyDelete
  2. Artikelnya bagus... jadi semakin ingin keliling dunia meski cuma bermodal impian..

    ReplyDelete